Di antara gemericik sungai dan hamparan sawah di Desa Surodikraman, Ponorogo, Jawa Timur, Masjid Pulang berdiri sebagai saksi bisu perjalanan spiritual sebuah komunitas. Masjid ini bukan sekadar tempat salat, melainkan pusat napas Jamaah Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah yang telah menjaga tradisi Sufi sejak era kolonial. Di sini, warisan leluhur bertaut dengan denyut zaman, menciptakan harmoni antara tasawuf dan kearifan lokal. Mulai jaman masih berdirinya pondok milih Mbah Kaji Dullah yang Mursyid Naqsabandiyah (jaman Belanda -Jepang)
Dari Kyai Imam Muhadi hingga Ali Barqul Abid: Estafet Kepemimpinan Spiritual
Akar sejarah Masjid Pilang tak lepas dari peran Kyai Imam Muhadi, pendiri sekaligus pemimpin awal yang menanamkan nilai-nilai Thoriqoh—jalan spiritual dalam Islam yang menekankan kedekatan dengan Tuhan melalui zikir dan disiplin batin. Sepeninggalnya, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Kyai Ali Barqul Abid, yang menjaga konsistensi ajaran di tengah arus modernisasi.
Sebelumnya, tongkat estafet sempat dipegang oleh Mbah Thoyib, cucu pendiri pondok (Mbah Kaji Dullah) dan masjid ini. Ia bukan hanya pemimpin, melainkan juga “penjaga gerbang” tradisi baiat (ritual ikrar kesetiaan murid kepada guru thoriqoh). Kini, meski Mbah Thoyib telah wafat, semangatnya tetap hidup melalui putranya, Pak Khumaidi, dan para alumni Pondok Pesantren Manba’ul Adhim Bagbogo, seperti Pak Wan, yang mengelola masjid dengan prinsip al-muhafadzatu ‘ala al-qadim as-shalih , memelihara yang lama yang baik, sambil merangkul yang baru yang lebih baik
Baitan Senin Kliwon: Ritual yang Menyatukan Ruang dan Waktu
Setiap Senin Kliwon selepas Ashar, Masjid Pilang dipadati jamaah dari berbagai penjuru. Tak hanya warga sekitar, mereka datang dari Purwantoro dan Slahung—bahkan ada yang menempuh puluhan kilometer—untuk mengikuti *baitan*. Ritual ini bukan sekadar seremonial, melainkan simpul yang mengikat jamaah dalam ikatan spiritual. Dalam tradisi Jawa, Senin Kliwon dianggap sebagai hari keramat, kombinasi antara siklus mingguan dan *pasaran*. Pemilihan hari ini mencerminkan akulturasi unik antara Islam dan budaya lokal, di mana nilai-nilai Sufi menyatu dengan kearifan masyarakat agraris.
Di belakang masjid, makam Kyai Dullah (salah satu tokoh penting thoriqoh Naqsabandiyah) menjadi pengingat akan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini. Setiap peziarah yang datang seolah diajak merenung: spiritualitas bukanlah warisan mati, melainkan api yang harus terus dipupuk.
Keberlanjutan jamaah ini tidak lepas dari peran generasi muda. Para alumni pesantren yang terlibat dalam pengelolaan masjid membawa pendekatan baru tanpa mengikis esensi tradisi. Misalnya, penggunaan media sosial untuk mengoordinasi kegiatan, atau dialog antar-generasi untuk menjawab tantangan kontemporer. Namun, intinya tetap sama: thoriqoh adalah jalan untuk membersihkan hati, bukan sekadar ritual usang.
Di era di banyak komunitas adat terancam punah, keteguhan Masjid Pilang layak menjadi teladan. Mereka membuktikan bahwa tradisi bisa bertahan bukan dengan menutup diri, melainkan dengan membuka ruang dialog antara warisan dan kemajuan. Seperti kata pepatah Arab, “al-‘ilmu nuurun” ilmu adalah cahaya. Dan cahaya thoriqoh di Ponorogo ini masih menyala, diteruskan dari satu tangan ke tangan lain, menanti generasi berikutnya yang mau menerima estafet.
Masjid Pilang bukan hanya bangunan fisik. Ia adalah ruang hidup yang menghidupkan, tempat di mana zikir dan doa menjadi napas harian. Di balik lokasinya rimbunnya bambu, tersimpan kisah tentang keteguhan, kesetiaan, dan keyakinan bahwa spiritualitas adalah pondasi yang menguatkan masyarakat di tengah gelombang perubahan. Inilah potret Indonesia yang sering terlupa: negeri yang tetap kokoh berakar, meski daun-daunnya terus tumbuh menjulang.
---Pilang Surodikraman)
Posting Komentar untuk "Menjaga Api Spiritual Thoriqoh di Masjid Pilang Ponorogo"