Mengenal Dalan, Jembatan Penghubung Murid kepada Kyai

Kang Kamdi dan Kang Senen

Dalam perjalanan spiritual, ada sosok-sosok yang menjadi jembatan antara murid dan guru. Mereka adalah pembimbing, penjaga tradisi, dan penerus ajaran yang menghubungkan kami dengan para guru yang telah mendahului. Pak Yadi, Gus Mad, Kyai Kamdi, Mbah Toyib, dan Pak Senen adalah beberapa dari mereka. Kepergian mereka meninggalkan jejak yang dalam, bukan hanya sebagai murid yang setia, tetapi juga sebagai "dalan" (jalan) yang membimbing kami menuju guru.

Pak Yadi adalah sosok pertama yang kami kenal sebagai pembimbing. Beliau dikenal tegas dan konsisten dalam menjalankan ajaran guru. "Kalau iya adalah iya, kalau tidak adalah tidak," begitu pesannya yang sering diulang.
"Tidak ada siaran tunda" kata kata yang abadi dan terukir di nisan makamnya.
Ketegasan ini menjadi fondasi bagi kami dalam menghayati ajaran spiritual. Pak Yadi wafat terlebih dahulu, meninggalkan warisan kesetiaan dan ketegasan yang terus kami pegang.

Setelah kepergian Pak Yadi, Gus Mad mengambil peran sebagai penjaga tali silaturahmi antara murid-murid dan guru. Beliau sering mimya di derekne mengunjungi para santri alumni. Atau orang orang yang mengundangnya. Dari situ banyaknya tentang Kyai, ia ceritakan.
 Gus Mad adalah sosok yang rendah hati dan penuh perhatian. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam, tetapi juga mengingatkan kami akan pentingnya menjaga hubungan antar murid dan guru.

Setelah Kyai Imam Muhadi wafat, Mbah Toyib menjadi kholifah yang meneruskan baiatan. Beliau adalah sosok yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Mbah Toyib memimpin dengan keteladanan, mengajarkan kami arti kesabaran dan kerendahan hati. Kepergiannya menandai berakhirnya sebuah era, tetapi warisan kebijaksanaannya tetap hidup dalam hati kami. Yang selalu ditekankan, Gurune nggur siji, aku babune Kyai. Ucapan beliau saat ada seaana santri yang menyebutnya kyai.

Kyai Kamdi, atau Kang Kamdi, adalah sosok yang sangat dihormati. Beliau adalah "mortir" (penerus) dari Kyai Imam Muhadi, guru yang sangat dihormatinya. Setiap kali berangkat untuk baiatan (kegiatan keagamaan), beliau tidak pernah berhenti atau mampir di mana pun sebelum sampai di tempat tujuan. Sepanjang perjalanan, beliau lebih banyak diam, sesekali mengucapkan hamdalah. Namun, saat pulang, beliau sering bercerita tentang Kyai Imam Muhadi. "Aku iku mortire Mbah Yai," ujarnya sambil tertawa, menegaskan bahwa dirinya adalah penerus sang guru. Kyai Kamdi wafat setelah menjalani hidup dengan penuh ketawadukan dan kesetiaan pada ajaran guru. MU, Mortir Ulama bukan Mencester United, tawanya.

Pak Senen adalah sosok yang tawaduk dan rendah hati. Meskipun semasa hidupnya tidak pernah bertemu langsung secara lahiriah dengan Kyai Imam Muhadi, beliau sangat menghormati dan memahami kebiasaan sang guru. Pak Senen tahu banyak hal tentang Kyai Imam Muhadi, mulai dari cara duduk, gaya bicara, hingga suaranya. Namun, beliau memilih untuk menutupi banyak hal yang mungkin bisa menimbulkan fitnah atau sulit diterima akal orang lain. Pak Senen wafat pada bulan puasa, menjelang berbuka, setelah menjalani cuci darah (hemodialisa). Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam, tetapi juga mengingatkan kami akan pentingnya ketawadukan dan kerendahan hati.

Urutan kepergian mereka Pak Yadi, Gus Mad, Kyai Kamdi, Mbah Toyib, dan Pak Senen seolah mengisyaratkan sebuah siklus yang harus dilalui. Mereka pergi satu per satu, meninggalkan kami dengan tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan mereka. Mereka adalah "dalan" yang telah membuka jalan bagi kami, dan kini tugas kamilah untuk menjaga dan melanjutkan jalan tersebut.

Kepergian mereka meninggalkan kekosongan yang sulit terisi. Namun, warisan ketawadukan, kesetiaan, dan ketegasan mereka tetap hidup dalam hati para murid. Mereka adalah bukti bahwa dalam perjalanan spiritual, tidak hanya guru yang penting, tetapi juga mereka yang membimbing kita menuju guru. Mereka adalah "mortir" yang meneruskan cahaya sang guru, menerangi jalan bagi para murid yang datang setelahnya.

Kini, kami yang tersisa harus melanjutkan perjuangan mereka. Kami harus menjadi "dalan" bagi generasi berikutnya, membimbing mereka menuju guru, dan menjaga tali ikatan yang telah dijalin oleh Pak Yadi, Gus Mad, Kyai Kamdi, Mbah Toyib, dan Pak Senen. Mereka mungkin telah pergi, tetapi cahaya yang mereka tinggalkan akan terus menerangi jalan kami. 

Bersahaja

Foto yang saya ambil saat menjenguk Kyai Kamdi yang sedang sakit adalah pengingat akan sosok yang teguh pada prinsipnya. Sejak kecil, beliau tidak pernah minum obat atau berobat ketika sakit. Bahkan luka di tubuhnya pun tidak mau diobati dengan betadine atau diperban. Alasannya sederhana namun mendalam: beliau menganggap hal itu "melawan kodrat". Bagi Kyai Kamdi, hidup dan mati adalah takdir yang harus diterima dengan ikhlas.

Mereka telah pergi, tetapi ajaran dan teladan mereka tetap abadi. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan kami dengan guru-guru kami. Mereka adalah bukti bahwa dalam perjalanan spiritual, tidak hanya guru yang penting, tetapi juga mereka yang membimbing kita menuju guru. Mereka adalah "mortir" yang meneruskan cahaya sang guru, menerangi jalan bagi para murid yang datang setelahnya.

-----Loceret Nganjuk)

Posting Komentar untuk "Mengenal Dalan, Jembatan Penghubung Murid kepada Kyai"