Kisah ini bermula dari sebuah pesan spiritual. Kyai Imam Muhadi, guru tasawuf Pak Yadi, mengutusnya untuk menyambung sanad (mata rantai keilmuan) ke Kyai Muslih Abdurrahman, pengasuh Pondok Futuhiyah Mranggen yang juga murid Syekh Abdul Karim Banten. Namun, takdir berkata lain: sang kyai justru berpulang di Tanah Suci saat menunaikan haji.
Jalur Timur dan Barat: Pertemuan Dua Sanad
Kyai
Muslih bukan sekadar nama dalam silsilah. Ia adalah simpul penting yang
menghubungkan dua jalur keilmuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
(TQN) An-Nadliyah. Dari jalur barat, sanadnya merujuk ke Syekh Abdul
Karim Banten, sementara jalur timur menyambung ke Kyai Kholil Bangkalan,
ulama legendaris Nahdlatul Ulama (NU).
"Kyai Imam Muhadi sebenarnya sudah diangkat sebagai mursyid (guru spiritual) oleh Kyai Mustain Romli dari Jombang, cucu murid Kyai Kholil," jelas Pak Yadi. Namun, gejolak politik Orde Baru mengubah segalanya. Saat NU berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kyai Mustain justru memilih Golkar. "Aku tak mlebu Golkar disik, mene kyai ramai-ramai masuk Golkar seperti aku," kata Kyai Mustain kala itu, seperti diceritakan ulang Pak Yadi.
Perbedaan politik itulah yang mendorong Kyai Mustain Romli mengutus Kyai Imam Muhadi mencari penguatan sanad ke jalur barat melalui Kyai Muslih. "Ini tentang menjaga kemurnian transmisi spiritual, jauh dari kepentingan duniawi," tambahnya.
Malam di Mranggen: Antara Doa dan Kenangan
Kepulan
asap rokok dan aroma wedang jahe menguar di angkringan itu. Pemiliknya
bercerita tentang Kyai Muslih: ulama rendah hati yang menulis puluhan
kitab, mengajar tanpa lelah, dan wafat di tengah ritual haji—sebuah
akhir yang dianggap khusnul khatimah (penutup yang baik) oleh masyarakat.
"Pondok Futuhiyah kini diteruskan adiknya, Kyai Ahmad Muthohar," ujarnya. Tapi bagi Pak Yadi, kunjungan ini bukan sekadar silsilah administratif. Ia membawa amanat untuk "menyambung ruh" keilmuan yang tidak boleh terputus.
Sepanjang pulang ke Ponorogo, tasbih di tangan Pak Yadi tak berhenti berputar. "Syukur, alhamdulillah," bisiknya sesekali. Mungkin ini bentuk penerimaan: bahwa sanad tak selalu tentang pertemuan fisik, melainkan kesinambungan ikhtiar mencari ilmu.
Warisan yang Tak Padam
Wafatnya Kyai Muslih meninggalkan ruang, tapi Futuhiyah tetap hidup. Kitab-karyanya seperti Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah, Yawaqit, dan Umdatus Salik Fi Khoiril Masalik. Al-Mafahim, masih dipelajari di pesantren. Tradisi tawassul (ziarah kubur) ke makam pendiri pondok tetap ramai di komplek makam kelurga di Pondok Pesantren Futtuhiyyah.
Di balik dinamika politik dan perbedaan jalur, kisah ini mengingatkan pada satu hal: tarekat adalah jalan panjang yang ditapaki dengan hati, bukan sekadar garis silsilah. Seperti kata Pak Yadi, "Sanad itu bukan hanya tertulis di kertas, tapi mengalir dalam amal dan ketulusan."
Grafik Silsilah Sanad TQN An-Nadliyah:
Jalur Timur:
Syekh Kholil Bangkalan → Syekh Romli Tamim (Jombang) → Syekh Mustain Romli →Syekhi Imam Muhadi.Jalur Barat:
Syekh Abdul Karim Banten →Syekh Ibrahim Muslih → Syekh Muslih Abdurrahman → Syekhi Imam Muhadi.Bersatu di Syekh Khatib Sambas (Mekah).
---Mranggen Demak)
Posting Komentar untuk "Mencari Jejak Kyai Muslih: Kisah Perjalanan Spiritual dan Warisan yang Tak Tersampaikan"