Kisah Tawaduk Mbah Ma’un: Menjadi “Babune Kyai” dengan Hati yang Tulus

Kyai Toyib (Mbah Maún, Mbah Saimoen), dan Kyai Suyadi Ali   
 
Mbah Ma’un, saya menyebutnya, meski nama aslinya tercatat sebagai Sarmoen di KTP, masyarakat lebih familiar memanggilnya dengan sebutan Mbah Thoyib. Beliau adalah sosok yang sederhana, rendah hati, dan penuh ketulusan. Namun, di balik kesederhanaannya, tersimpan kisah spiritual yang menginspirasi banyak orang.

Mbah Ma’un sebenarnya adalah badal (wakil) Kyai Imam Muhadi setiap baiatan TQN-A  di Ponorogo. 
Ia selalu merasa sebagai “babune Kyai Suhadi” (pembantunya Kyai Suhadi). Bahkan, beliau kerap marah jika ada santri Kyai Imam Muhadi yang memanggilnya dengan sebutan “Kyai”. 

“Kyaîne yo nggur siji, aku iki babune,” ujarnya dengan tegas.  
(Kyai hanya satu, aku ini hanya pembantunya.)

Kalimat itu bukan sekadar ungkapan kerendahan hati, tetapi juga mencerminkan sikap tawaduk yang luar biasa. Mbah Ma’un merasa bahwa gelar “Kyai” hanya pantas disandang oleh gurunya, Kyai Imam Muhadi. Padahal, dari jalur keluarga, sebenarnya beliau berhak untuk menjadi Mursyid Naqsabandiyah (pemimpin spiritual). Namun, Mbah Ma’un memilih untuk mengikuti jalur gurunya dengan penuh kesetiaan.

Awal Mbah Ma’un Bertemu Kyai Imam Muhadi 
Kisah perjalanan spiritual Mbah Ma’un dimulai ketika anaknya mondok di pesantren Kyai Imam Muhadi. Melalui anaknya itulah, beliau akhirnya mengenal sang Kyai dan memutuskan untuk berguru. Saat itu, usia Mbah Ma’un sebenarnya lebih tua daripada Kyai Imam Muhadi. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa hormat dan ketawadukannya. Beliau menganggap guru sebagai sosok yang harus dihormati, terlepas dari usia atau latar belakang.

Suatu hari, Kyai Imam Muhadi memberikan amanah kepada Mbah Ma’un.  
“Awakmu mbesok tugasmu neruske aku.”  
(Kamu nanti tugasmu adalah meneruskan perjuanganku.)

Mendengar hal itu, Mbah Ma’un merasa ragu. Bagaimana mungkin dirinya, yang baru saja berguru, diberi tanggung jawab sebesar itu?  
“Kula nopo saget lo, Kyai…”  
(Saya apa mampu, Kyai…)

Namun, Kyai Imam Muhadi hanya tersenyum dan berkata,  
“Kok tandangi karepmu, ora yo karepmu. Aku nggur dikabari Gusti Allah.”  
(Jangan mengikuti keinginanmu, tapi ikuti keinginan Tuhan. Aku hanya diberitahu oleh Allah.)

Kata-kata itu menyentuh hati Mbah Ma’un. Beliau pun memutuskan untuk menerima amanah tersebut dengan ikhlas. Menurutnya, perintah guru adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, karena guru memiliki kebijaksanaan yang lebih tinggi dan selalu mendapat petunjuk dari Allah.

Menjadi Orang Kepercayaan Kyai Imam Muhadi
Sejak saat itu, Mbah Ma’un menjadi orang kepercayaan Kyai Imam Muhadi di Ponorogo. Beliau menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, meski tetap memegang teguh prinsip kerendahan hati. Mbah Ma’un tidak pernah ingin dipandang sebagai sosok yang istimewa. Baginya, yang terpenting adalah mengabdi dan melanjutkan perjuangan spiritual gurunya.

Bagi para santri dan masyarakat sekitar, Mbah Ma’un adalah teladan nyata tentang arti ketawadukan dan kesetiaan. Meski memiliki kedudukan di masyarakat yang tinggi, beliau tetap memilih untuk menjadi “babune Kyai” dengan hati yang tulus. Sikapnya ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan spiritual, gelar dan kedudukan bukanlah hal yang utama. Yang terpenting adalah ketulusan hati, pengabdian, dan rasa hormat kepada guru.

Pesan yang Terkandung dalam Kisah Mbah Ma’un.
Kisah Mbah Ma’un mengajarkan kita beberapa nilai penting dalam kehidupan, terutama dalam konteks spiritual:
  1. Tawaduk (Rendah Hati). Meski memiliki kemampuan dan kedudukan, Mbah Ma’un tetap memilih untuk rendah hati dan tidak ingin dipandang lebih dari apa adanya.
  2. Kesetiaan kepada Guru, Beliau menganggap perintah guru sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan, karena guru diyakini memiliki kebijaksanaan yang lebih tinggi.
  3. Pengabdian tanpa Pamrih, Mbah Ma’un menjalankan tugasnya dengan ikhlas, tanpa mengharapkan gelar atau pengakuan.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan spiritual, seringkali tugas besar diberikan kepada mereka yang merasa tidak siap. Namun, dengan ketulusan hati dan keyakinan, segala sesuatu bisa dijalani dengan baik.

Penutup
Mbah Ma’un mungkin bukan nama yang terkenal di kalangan luas, tetapi kisah hidupnya layak untuk dijadikan inspirasi. Beliau mengajarkan kita tentang arti ketawadukan, kesetiaan, dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam dunia yang semakin individualis, nilai-nilai yang dipegang oleh Mbah Ma’un menjadi pengingat betapa pentingnya menjaga kerendahan hati dan menghormati orang yang telah membimbing kita.

Semoga kisah Mbah Ma’un bisa menginspirasi kita semua untuk menjadi pribadi yang lebih baik, baik dalam kehidupan spiritual maupun sehari-hari.  
--Aamiin)

Posting Komentar untuk "Kisah Tawaduk Mbah Ma’un: Menjadi “Babune Kyai” dengan Hati yang Tulus"