Ojo Ngendelne Nasab, Pesen Mbah Toyib


Kebiasaan tidur selepas sholat Subuh berjamaah itu seperti ritual, saat jamaah lain bergegas pulang ke rumah masing-masing, aku justru tidur didekat amplifier pengeras suara.

Namun pagi itu, sunyi pagi yang biasa kusukai pecah oleh keributan misterius dari arah belakang masjid. Dentuman barang berjatuhan, gesekan sapu kasar di tanah, dan suara gerusan yang mengiris keheningan. Aku mencoba menahan kantuk, tapi deru api yang tiba-tiba menyala dan asap membumbung di balik jendela mengusik rasa penasaran.

Dengan langkah tertatih, ku jelajahi sudut makam di belakang masjid yang masih diselimuti kabut pagi. Di balik tirai asap daun kering yang dibakar, terpampang sosok tua berpeci lusuh sedang membersihkan nisan-nisan. Tangannya yang keriput menggenggam sapu ijuk tua, setiap gerakannya seperti tarian sakral penuh makna.

"Assalamu'alaikum, Mbah..." suaraku parau menyapa. Begitu mendekat, nafasku seketika tertahan. Ini adalah Mbah Toyib, badal Mursyid Tarekat yang namanya sering disebut-sebut dalam bisikan khusyuk para santri sepuh. Dengan gemetar, kusambut tangan beliau yang hangat untuk menciumnya, mencium aroma kesturi dan keringat yang bercampur menjadi wewangian keramat.

"Lho, cah enom seneng begadang koyok dhemit?" goda beliau sambil menyapu daun kering yang berterbangan. Matanya yang sipit berbinar seperti menyimpan ribuan hikmah. Aku mengikutinya membersihkan area makam sambil mendengar kisahnya tentang Mbah Kaji Dullah, sang pendiri masjid yang juga mursyid tarekat seangkatan Mbah Fadil Genthan. Suaranya parau bergema di antara nisan-nisan, seolah para leluhur ikut mendengarkan.

Saat tanpa sengaja kusebut silsilah keturunan Kyai Ageng Moh Besari, wajah Mbah Toyib tiba-tua berubah bak mendung hendak hujan. "Wah, cah iki kok sok-sokan nggowo ***ol bosok!" hardiknya, membuat daun kering di tanah berhamburan tertiup angin. Pipinya yang keriput memerah, jari telunjuknya menunjuk tepat ke dadaku.
"Leluhurmu sing wis ngawiti iku dudu tameng dosa!"
Ora usah ngejum ****ol bosok, pamer leluhur. Malah isin yen awake dewe glah gleh gawe isine mbah mbahe sing wis sumare, kata mbah Toyib. 

Ojo sitik-sitik ngendelne keturunane (****ol bosok), mergo dosa lan ganjaran ditanggung dewe-dewe, jelas almarhum mbah Toyib.

Kaki-kakiku lemas. Nasihat itu seperti palu godam yang menghancurkan kebanggaan kosong tentang silsilah keluarga. 
Asap dari pembakaran daun kering tiba-tawa terasa menusuk mata. "Mergo sapa-sapa sing ngumbar agung-agungan silsilah," lanjutnya lebih lembut, "iku koyo wong ngombe kopi tanpa gula. Rasane pait, tapi sok-sokan ngaku keturunan pabrik gula." 

Pelajaran pagi itu membekas lebih dalam daripada dinginnya lantai marmer masjid. Kini, setiap melewati komplek makam belakang Masjid Pilang, aroma daun kering terbakar selalu mengingatkanku pada Mbah Toyib dan "***ol bosok"-nya - metafora tajam tentang kesombongan yang berkarat, warisan yang harus dirawat dengan amal, bukan dikibarkan seperti bendera keangkuhan. 

Di antara nisan-nisan yang mulai ditumbuhi lumut, aku belajar: keagungan sejati bukanlah sesuatu yang diwariskan, tapi sesuatu yang ditanam dengan keringat dan ketulusan.

Posting Komentar untuk "Ojo Ngendelne Nasab, Pesen Mbah Toyib "