Foto ini mengabadikan momen pada 24 Januari 2009, saat kami sekelompok murid diajak Pak Yadi berangkat ke Kediri. Namun, sebelum sampai tujuan, beliau berpesan, “Kita pamit dulu ke Mbah Mangil dan Kyai.” Seperti biasa, kami hanya mengangguk, meski bingung: bukankah ziarah biasanya memakan waktu lama?
Hari itu, setelah sholat Dhuhur di Ponorogo, langit terik membakar kulit. Matahari menyengat seolah tak mau berkompromi. Mobil melaju ke arah Loceret, Pace, Nganjuk, hingga akhirnya berhenti di kompleks makam Mbah Mangil (Mbah Ismail). Ritual ziarah pun dimulai. Kami menabur bunga di pusara, berdoa singkat, dan hanya dalam lima menit, Pak Yadi sudah memberi isyarat untuk pergi. “Cepet banget, Ya? Biasanya setengah jam lebih…” bisik salah seorang di antara kami. Tapi tak ada yang berani protes. Kami hanya saling pandang, lalu buru-buru mengikuti langkah beliau yang tergesa.
Jarak dari makam ke mobil sekitar 100 meter. Baru setengah jalan, tiba-tiba langit gelap. Angin berhembus kencang, menerbangkan debu dan daun kering. Sebelum sempat berlindung, hujan deras mengguyur begitu keras hingga jalanan seketika banjir. Padahal, tak ada tanda-tanda awan mendung sebelumnya. Kami berlarian ke mobil, basah kuyup, sementara Pak Yadi tetap tenang. “Ayo, ndangg!” serunya singkat.
Hujan tak jua reda bahkan setelah kami sampai di pondok dan makam Kyai Imam Muhadi. Di sana, kami bersowan ke Kyai, sholat di masjid pondok, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, pertanyaan tetap mengusik: Mengapa Pak Yadi terburu-buru di makam Mbah Mangil? Tapi sikapnya yang mantap membuat kami memendam rasa penasaran.
Sesampainya di Kediri, beliau akhirnya berseloroh, “Hujan tadi adalah ‘jawaban’ dari Mbah Mangil. Beliau tak mau kita berlama-lama karena sedang tak ingin diganggu.” Kami pun tersenyum kecut. Rupanya, guru memang selalu punya alasan di balik setiap keputusan. Sebagai murid, kami hanya bisa menghela napas: Manut saja, sembari belajar membaca “tanda-tanda” yang tak terucap.
@ Pace, Nganjuk – 24 Januari 2009.
---
*Cerita ini ditulis berdasarkan momen yang terekam dalam foto, di mana setiap detil menjadi pengingat akan kebijaksanaan guru dan misteri alam yang tak pernah bisa sepenuhnya kita pahami.
Posting Komentar untuk "Ziarah Kilat di Tengah Terik dan Hujan"