Pondok ini didirikan oleh Al Mursyid Kyai Haji Imam Muhadi pada tahun 1960-an. Saat ini, kepemimpinan pondok dan kemursyidan diteruskan oleh Kyai Ali Barqul Abid.
Pak Yadi adalah orang pertama yang memperkenalkan dan mengajak saya untuk sowan (berkunjung menghormat) kepada Kyai Imam Muhadi pada tahun 90-an, saat saya masih bersekolah di SMA. “Iki guruku lan gurumu, guru sejati yang membimbing kehidupan dunia dan akhirat kita,” ucapnya kala itu.
Ada kebiasaan unik Pak Yadi: ia selalu mengambil jalan memutar lewat pintu belakang atau samping, tidak melalui gapura depan seperti tamu lainnya. Bahkan saat nderekne (mengikuti) almarhum Gus Mad, ia tetap lewat jalan belakang yang berputar.
Lebih dari 20 tahun kemudian, almarhum Pak Yadi baru menjelaskan alasannya:
“Kita ini adalah *batih* (keluarga), bukan tamu. Kalau tamu, lewat depan. Batih itu jika yang diikuti senang, ikut senang; jika susah, ikut merasakan susah. Orang yang mbatih harus rela menjadi bagian dari yang diikuti, seberat apa pun.”
Ia juga berpesan:
“Awake dewe melu Kyai iku ben ngerti, dudu ben pinter. Dudu golek penak, la susahe awake dewe iku gak enek sak pucuk kuku susahe Kyai. Kyai pinter nutupi susahe.”
(Kita mengikuti Kyai untuk memahami, bukan untuk menjadi pintar. Bukan mencari kenyamanan, karena kesulitan kita tak seujung kuku kesulitan Kyai. Kyai pandai menutupi kesulitannya.)
“Harus mencari gocekan (ikatan) yang kuat agar bisa terhubung erat. *Golek tali sing kenceng, terserah opo iku.”
(Carilah tali yang kuat, terserah apa pun bentuknya.)
@bagbogo
Posting Komentar untuk "Mbatih, Latihan menjadi Bagian"