Didirikan pada tahun 1955 oleh Kyai Haji (KH) Imam Muhadi, Pondok Pesantren Manba'ul 'Adhim di Desa Bagbogo, Nganjuk, Jawa Timur, tetap kokoh sebagai benteng pendidikan Islam tradisional. Berpegang pada sistem salaf (klasik), pesantren ini menekankan pengkajian kitab kuning, spiritualitas, dan praktik kebatinan, sambil beradaptasi dengan kebutuhan zaman tanpa kehilangan identitas aslinya.
Awal Berdiri dan Perkembangan
Awalnya, pesantren ini merupakan pusat pengajian sederhana yang fokus pada pembelajaran fiqh (hukum Islam), tasawuf (sufisme), kanuragan (ilmu bela diri spiritual), dan tarekat (ordo Sufi). Pada 1960, KH. Imam Muhadi membangun asrama pertama dengan nama Sumber Agung. Pada 1966, nama pesantren diubah menjadi Manba'ul 'Adhim (berasal dari bahasa Arab yang berarti Sumber Agung), mencerminkan misi spiritualnya. Pembangunan masjid pada 1964 menandai pertumbuhan pesantren, meski sempat menghadapi ancaman kritis saat pemberontakan PKI 1965—upaya pembakaran masjid berhasil digagalkan berkat perlawanan masyarakat.
Pendidikan Salaf dan Warisan Bela Diri
Pesantren ini tetap setia pada metode salaf, mengutamakan transmisi ilmu secara lisan dan kedekatan guru-murid. Pada 1961, KH. Imam Muhadi mendirikan perguruan Tego Pati/Manusia Baja, yang menggabungkan pelatihan bela diri fisik (pencak silat) dengan disiplin spiritual (kanuragan). Awalnya, ilmu ini ditujukan untuk pertahanan diri di tengah gejolak politik, tetapi pada 2000, kanuragan dialihkan menjadi kegiatan ekstrakurikuler pencak silat yang berfokus pada olahraga.
Tarekat dan Kepemimpinan Spiritual
KH. Imam Muhadi juga menjabat sebagai *mursyid* (pembimbing spiritual) *Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah*, mengintegrasikan praktik Sufi ke dalam kurikulum pesantren. Peran gandanya sebagai pendidik dan pemimpin tarekat memperluas pengaruh pesantren, menarik santri maupun masyarakat luas yang mencari bimbingan spiritual.
Tantangan dalam Pendidikan Formal
Pada 2010 an, pesantren mendirikan Madrasah Ibtidaiyah untuk meresmikan pendidikan formal setingkat SMP dan SMA. Selain mendapatkan keilmuan pondok, santri sekaligus mendapatkan ijazah sekolah formal.
Ketahanan Budaya
Keunikan pesantren terletak pada sintesis antara spiritualitas, bela diri, dan penolakan terhadap sinkretisme. Jika dulu *kanuragan* berfungsi sebagai pertahanan dari ancaman eksternal, kini ia menjadi simbol pelestarian budaya. Pencak silat tetap dipertahankan sebagai warisan yang mencerminkan disiplin fisik dan kearifan lokal.
Selama hampir 70 tahun, Pondok Pesantren Manba'ul 'Adhim berhasil menyeimbangkan tradisi dan adaptasi. Dengan menjaga pengajaran klasik, merawat spiritualitas Sufi, dan mengolah bela diri untuk konteks modern, pesantren ini terus berkembang sebagai pusat pendidikan dan spiritualitas Islam yang holistik. Warisan KH. Imam Muhadi tetap hidup, mencerminkan ketangguhan menghadapi perubahan ideologis dan budaya, sekaligus memperkuat identitas keislaman yang utuh.
Posting Komentar untuk "Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Manba'ul Adhim, Bagbogo Tanjunganom Nganjuk"