Di ujung tenggara kabupaten Nganjuk, sebuah pondok pesantren berdiri tegak di Bagbogo Tanjunganom, Nganjuk. Pesantren ini bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, melainkan juga simbol keteguhan hati seorang ulama yang berani melawan arus: Romo Kyai Imam Muhadi, Sebutan “Romo” yang melekat pada namanya bukan tanpa makna. Di kalangan santri dan masyarakat, panggilan ini mencerminkan penghormatan kepada sosok bapak yang penuh tanggung jawab, lembut, dan penuh kasih sayang seperti seorang ayah yang membimbing keluarga besarnya di jalan spiritual.
Berdirinya Pesantren Manbaul Adhim: Perjuangan Melawan Dominasi PKI
Tahun 1960 menjadi tahun bersejarah bagi Nganjuk. Di tengah situasi politik yang memanas, di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) mendominasi narasi pergerakan, Romo Kyai Imam Muhadi memilih jalan berbeda: mendirikan Pondok Pesantren Manbaul Adhim. Langkah ini tidak mudah. Selain tekanan dari kelompok politik yang berkuasa, masyarakat sekitar juga masih skeptis terhadap ide-ide pembaruan. Namun, keteguhan Romo Kyai Imam Muhadi membuahkan hasil. Pesantren ini lambat laun menjadi mercusuar ilmu dan akhlak, mengajarkan nilai-nilai Islam yang moderat sekaligus mendalam
Pusat Penyebaran Tarekat Qādiriyāh wa Nāqshābāndiyāh an Nadliyah
Pesantren Manbaul Adhim tidak hanya dikenal sebagai tempat mengaji, tetapi juga sebagai pusat penyebaran tarekat Qādiriyāh wa Nāqshābāndiyāh an Nadliyah. Tarekat ini, yang menggabungkan dua aliran besar (Qādiriyāh dan Nāqshābāndiyāh), menjadi ruh spiritual bagi ribuan santri. Dari Nganjuk, ajaran ini merambah ke wilayah Jawa Timur bagian barat: Madiun, Ponorogo, Magetan, Ngawi, Pacitan, hingga Bojonegoro.
Yang menarik, santri-santri Manbaul Adhim tidak hanya berasal dari Jawa. Banyak yang datang dari Kalimantan, Sumatra, bahkan luar pulau. Setelah lulus, mereka kembali ke daerah masing-masing dan mengembangkan ajaran tarekat ini. Tak heran, jamaah yang tidak pernah mondok pun menjadi bagian dari jaringan spiritual ini, membentuk komunitas kuat di sepanjang wilayah barat Sungai Brantas.
Silsilah Mursyid: Dari Kyai Mustain Romli hingga Nabi Muhammad SAW
Sebagai seorang mursyid (pembimbing spiritual), Romo Kyai Imam Muhadi memiliki silsilah yang terjaga hingga Rasulullah SAW. Awalnya, garis keilmuan beliau bersambung kepada:
1. Kyai Mustain Romli
2. Kyai Romli Tamim
3. Kyai Kholil Bangkalan (ulama legendaris asal Madura, guru para pendiri NU)
4. Kyai Hasballah
5. Kyai Kotib Sambas (penggabung tarekat Qādiriyāh dan Nāqshābāndiyāh di Indonesia)
... hingga bersambung ke Nabi Muhammad SAW.
Namun, situasi politik tahun 1980-an memengaruhi relasi spiritual ini. Saat itu, banyak pesantren dan kalangan Nadliyin (NU) cenderung mendukung partai Islam, sementara Kyai Mustain Romli guru Romo Kyai Imam Muhadibmemilih Golkar. Untuk menjaga harmoni, Kyai Mustain Romli memerintahkan Romo Kyai Imam Muhadi menyambung silsilah ke jalur lain: Kyai Muslih Abdulrahman di Mranggen, Jawa Tengah. Dari sini, silsilah bertambah: Syech Ibrahim Muslih, Syech Abdul Karim Banten, dan menyambung Syech Ahmad Khotib Sambas.
Posting Komentar untuk "Syekh Kyai Imam Muhadi "