Di tengah senja yang merangkak, ratusan orang telah memadati halaman Masjid Bakung Jaya Palmerah, Jambi. Mata mereka tertuju pada jalan berdebu tempat Kyai Ali Barqul Abid dan rombongan akan tiba.
Setelah hampir setahun tak bertemu, masyarakat menyambut sang guru dengan gemuruh takbir dan lantunan shalawat. Perjalanan panjang Kyai Ali dari Parit Tengah, Nipah Panjang, Tanjung Jabung Timur melintasi jalan berlubang, jembatan rapuh, dan terik matahari terbayar lunas oleh senyum dan air mata warga yang merindukan bimbingan spiritualnya.
Malam itu, mereka berkumpul bukan hanya untuk bersua, tetapi untuk mengukuhkan janji lewat baiat Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah, sebuah tradisi sufi yang mengakar di bumi Jambi.
Kyai Ali Barqul Abid, atau yang akrab disapa Abah Ali, bukan sekadar figur religius. Ia adalah pengikat tali silaturahmi antara komunitas desa terpencil dan masyarakat urban. Perjalanan 12 jam dari Nipah Panjang ke Palmerah bukanlah yang pertama. Sejak muda, ia telah menjelajahi pelosok Jambi, menyebarkan ajaran thoriqoh (tarekat) sanad dari abahnya, Abah Kyai Imam Muhadi dan diyakininya sebagai jalan mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Di setiap langkah, ada ujian. Tapi di balik debu jalanan, ada cahaya yang menunggu,” ujarnya dalam suatu kesempatan. Cahaya itu, bagi warga Bakung Jaya, adalah kedamaian yang dibawa melalui dzikir dan bimbingan sang kyai.
Malam baiat itu digelar penuh khidmat. Kyai Ali duduk bersila di tengah lingkaran murid-muridnya. Dengan suara tenang, ia menguraikan sejarah Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah, sebuah tarekat yang lahir dari penyatuan dua aliran sufi besar: Qodriyah (didirikan Syekh Abdul Qadir al-Jilani) dan Naqsyabandiyah (dipelopori Bahauddin Naqsyaband).
Mereka bertemu dalam semangat yang sama: menyucikan hati melalui dzikir dan ketaatan pada guru (mursyid).
“Baiat bukan sekadar ritual. Ini adalah ikrar setia seorang murid untuk menapaki jalan Tuhan, dengan bimbingan guru sebagai penunjuk arah,” tegas Kyai Ali.
Dalam tradisi sufi, baiat adalah gerbang awal. Saat seseorang menyatakan janji, ia dianggap telah memasuki “perjanjian suci” dengan guru dan Sang Pencipta. Prosesi ini disertai pembacaan doa, penyerahan isyarat (simbol komitmen), dan pengajaran tata cara dzikir. “Guru adalah jembatan. Tanpa dia, kita bisa tersesat dalam lautan makna,” tambahnya.
Dzikir Qodriyah wa Naqsyabandiyah: Tuntunan Praktis
Kyai Ali menjelaskan, dzikir dalam tarekat ini terbagi dalam dua bentuk: dzikir jahr (vokal) dan dzikir khafi (dalam hati). Keduanya dilakukan dengan disiplin waktu dan konsentrasi penuh. Setiap murid wajib melaksanakan:
- Nafi ItsDzikirbat (menyucikan kalimat tauhid “La ilaha illallah”) sebanyak 165 kali setelah salat.
- Dzikir Ismu Dzat (menyebut “Allah” secara berulang) dengan teknik pernapasan khusus untuk mengonsentrasikan hati.
“Dzikir bukan hanya di lisan, tapi harus meresap ke hati. Di situlah Tuhan akan membuka pintu makrifat,” papar Kyai Ali. Ritual ini, menurutnya, adalah terapi jiwa di tengah dunia yang semakin gaduh.
Bakung Jaya, kawasan suburban Jambi, mungkin jauh dari gambaran pesantren tradisional. Tapi di sini, thoriqoh tumbuh sebagai penyeimbang kehidupan modern. Warga seperti Ibu Siti (45), yang bekerja sebagai pedagang, mengaku dzikir membantunya menemukan ketenangan. “Selepas kerja, saya selalu menyempatkan diri berdzikir. Rasanya beban hidup terasa lebih ringan,” katanya.
Bagi masyarakat multietnis di Palmerah, kegiatan seperti baiat juga menjadi media integrasi. “Di sini ada Jawa, Melayu, bahkan pendatang dari Sumatra Barat. Tapi saat berkumpul untuk dzikir, kita satu rasa,” ujar Mansur, salah satu peserta.
Kisah Kyai Ali dan komunitas Bakung Jaya mengingatkan kita bahwa tradisi sufi bukanlah ritual usang. Di tangan generasi baru, ia berevolusi menjadi jawaban atas kegelisahan zaman. Dalam dunia yang terfragmentasi oleh media sosial, dzikir dan baiat menawarkan ruang untuk merenung, berkomunitas, dan menemukan makna terdalam dari hidup.
Sebagaimana kata Kyai Ali di akhir ceramahnya: “Thoriqoh adalah perjalanan pulang. Pulang kepada hati yang bersih, dan pada akhirnya, pulang kepada Tuhan.” Di Bakung Jaya, pulangnya sang guru telah menyalakan kembali obor itu.
---Bakung Jaya, Pamerah Jambi)
Posting Komentar untuk "Baiat dan Dzikir TQN-A: Jejak Spiritualitas di Bakung Jaya Pamerah, Jambi"