Kyai Imam Muhadi dan Kyai Ghozali Manan |
Kisah hubungan antara Kyai Imam Muhadi, pendiri Pondok Pesantren Mambaul Adhim di Bagbogo, dan Kyai Ghozali Manan, pemimpin Pondok Pesantren Krempyang, adalah sebuah narasi yang menggabungkan ikatan kekeluargaan, keguruan, dan spiritualitas. Hubungan ini tidak hanya membentuk dua pondok pesantren besar, tetapi juga menciptakan warisan pendidikan dan keagamaan yang terus berkembang hingga kini.
Kyai Imam Muhadi lahir pada, 13 Februari 1922 di Bagbogo. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap ilmu agama. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Kyai Imam Muhadi melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Miftahul Mutadi'indi Krempyang, yang dipimpin oleh Kyai Ghozali Manan.
Belajar di Krempyang, Kyai Imam Muhadi menimba ilmu di pesantren tersebut selama 15 tahun (1935-1950). Selama masa ini, beliau dikenal sebagai santri yang rajin, disiplin, dan ahli dalam tirakat (puasa, qiyamul lail, dan dzikir). Kyai Ghozali Manan sangat menghargai ketekunan Kyai Imam Muhadi dan memberinya gelar "Santri Mbarep"(santri sulung, santri senior). Dipercaya sebagai kepala pondok, oleh sang Kyai.
Suatu ketika, Kyai Ghozali Manan pernah ngedikan, "Ada salah satu santriku yang memiliki ilmu yang tidak kumiliki.”
Ternyata di kemudian hari, santri yang dimaksud adalah Kyai Imam Muhadi. Meski sebagai guru, Kyai Ghozali dengan rendah hati mengakui keunggulan spiritual muridnya, terutama dalam penguasaan Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah. Kyai Imam Muhadi bahkan diangkat sebagai Mursyid (pemimpin spiritual) tarekat tersebut, sebuah posisi yang menjadikannya rujukan utama dalam ajaran tasawuf.
Selama di pesantren, Kyai Imam Muhadi pernah ditangkap tentara Belanda dan ditahan di bawa ke Kediri nyaris dihukum mati. Namun, beliau berhasil jemput dan dibebaskan oleh Kyai Ghozali Manan gurunya, setelah terjadi peristiwa mistis yang membuat tentara Belanda ketakutan. Peristiwa ini semakin mengukuhkan reputasinya sebagai sosok yang dikaruniai karamah (keistimewaan spiritual).
Hubungan antara Kyai Imam Muhadi dan Kyai Ghozali Manan tidak hanya bersifat keguruan, tetapi juga diperkuat oleh ikatan keluarga dan spiritual yang unik.
Pada tahun 1950, Kyai Imam Muhadi menikah dengan Siti Masfufah, santri dari Pondok Pesantren Krempyang. Siti Masfufah adalah putri Bapak Munandar dan Ibu Maryam dari dusun Krempyang. Pernikahan ini semakin mempererat hubungan antara kedua kyai.
Menariknya, Haji Fattah, mertua Kyai Ghozali Manan (ayah dari Nyai Khotijah, istri Kyai Ghozali) ikut berbaiat (mengikuti ikrar kesetiaan) dalam Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah yang dipimpin Kyai Imam Muhadi.
Siti Masfufah memiliki kakak perempuan, Nyai Mardiah, yang menikah dengan Kyai Sholeh kakak kandung Nyai Khotijah (istri Kyai Ghozali). Dengan demikian, hubungan keluarga antara Kyai Imam Muhadi dan Kyai Ghozali Manan terjalin melalui dua jalur: pernikahan dan persaudaraan.
Setelah menikah, Kyai Imam Muhadi memulai perjalanan mengajar ilmu agama di Bagbogo. Awalnya, beliau pulang-pergi antara Krempyang dan Bagbogo. Namun, setelah tiga tahun, beliau memutuskan menetap di Bagbogo untuk fokus membangun pondok pesantren.
Kediaman Kyai Imam Muhadi perlahan berubah menjadi Pondok Pesantren Mambaul Adhim seiring bertambahnya santri dari berbagai daerah, seperti Baron, Ngronggot, dan Krempyang.
Sebagai Mursyid Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah, Kyai Imam Muhadi mengajarkan keseimbangan antara ilmu syariat (lahir) dan tasawuf (batin). Ribuan santri tidak hanya belajar fikih dan tafsir, tetapi juga menjalani riyadhoh (latihan spiritual) di bawah bimbingannya.
Meski murid Kyai Ghozali Manan, Kyai Imam Muhadi justru menjadi guru spiritual bagi keluarga dan kerabat sang guru. Haji Fattah, mertua Kyai Ghozali, adalah contoh nyata bagaimana ajaran Kyai Imam Muhadi menembus hierarki tradisional guru-murid.
Hubungan erat kedua pondok pesantren ini terus hidup melalui generasi penerus.
Seluruh putra-putri Kyai Imam Muhadi menimba ilmu di Pondok Krempyang. Bahkan cucu-cucunya melanjutkan tradisi ini, meski Gus Din hanya mondok 2 hari, simbol penghormatan terhadap akar spiritual keluarga.
Kedua pesantren tidak hanya terhubung melalui jalur pendidikan, tetapi juga melalui jaringan Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah. Para santri dari Krempyang seringkali melanjutkan pendalaman tasawuf ke Bagbogo, menciptakan siklus ilmu yang saling melengkapi.
Kyai Imam Muhadi wafat pada tahun 2002, sedangkan Kyai Ghozali Manan lebih dulu berpulang pada tahun 1990. Namun, warisan mereka tetap hidup melalui ribuan santri dan keluarganya.
Kisah Kyai Ghozali yang mengakui kelebihan muridnya, serta Kyai Imam yang menjadi Mursyid bagi keluarga sang guru, mencerminkan keluhuran tradisi pesantren: ilmu tidak mengenal status, selama ia membawa kemaslahatan.
Tarekat pimpinan Kyai Imam Muhadi tidak hanya diikuti santri Bagbogo, tetapi juga ulama-ulama senior seperti Haji Fattah. Ini membuktikan kepemimpinan spiritualnya diakui lintas generasi.
Kisah kedua kyai ini mengajarkan bahwa kerendahan hati, kesetiaan pada guru, dan ketekunan spiritual adalah kunci menciptakan warisan abadi.
Hubungan Kyai Imam Muhadi dan Kyai Ghozali Manan adalah gambaran sempurna bagaimana ikatan keguruan, kekerabatan, dan spiritualitas bisa bersatu dalam harmoni. Kyai Ghozali, dengan kerendahan hatinya, mengakui keunggulan muridnya. Sementara Kyai Imam Muhadi meski sebagai murid, justru menjadi pemimpin spiritual bagi keluarga gurunya. Kedua pondok pesantren yang mereka dirikan tidak hanya menjadi pusat ilmu, tetapi juga bukti bahwa hubungan guru-murid bisa melampaui batas formalitas, dijiwai oleh rasa hormat dan kerinduan akan keberkahan ilmu. Kisah ini mengingatkan kita: dalam tradisi pesantren, guru dan murid adalah dua sisi mata uang yang sama saling mengisi, menghormati, dan melanjutkan estafet ilmu untuk kemaslahatan umat.
*Suwun Gus Din)
Posting Komentar untuk "Hubungan Erat Kyai Imam Muhadi dan Kyai Ghozali Manan: Kekerabatan, Keguruan, dan Spiritualitas"