Cedak Lampu Bloloken: Antara Kesombongan dan Pencerahan Spiritual

Gus Ali, dan Gus Kurniawan

Di Ponorogo dan Madiun, ada ungkapan yang akrab di kalangan santri: cedak lampu bloloken. Secara harfiah, frasa ini merujuk pada sikap berlebihan saat berada dekat sumber cahaya, terlalu dekat justru membuat silau. Dalam konteks spiritual, ia menjadi peringatan bagi murid yang merasa "terlalu nyaman" dengan gurunya, hingga lupa menjaga sopan santun, tawaduk, dan batas etika. Selama ini, ungkapan itu dimaknai sebagai larangan untuk nglamak (berkecukupan secara semu, lupa diri), merasa diri penting, atau bahkan menganggap diri lebih pintar dari guru dan teman seperjuangan.  

Namun, pesan terbaru dari Kyai Ali Barqul Abid penerus estafet ilmu Kyai Imam Muhadi, kepada anak-anak lewat jalur Pak Suyadi (Kange), mengubah paradigma tersebut. Kyai Ali tak hanya mengingatkan tentang bahaya kesombongan, tetapi juga menawarkan penafsiran baru: lampu tak harus selalu menyilaukan. 
Cahaya guru, katanya, justru harus menjadi penuntun yang menerangi jalan spiritual murid, baik secara fisik maupun batin. 

"Celakalah murid yang dekat dengan gurunya, tapi merasa diperlukan gurunya," ujarnya. Kalimat singkat itu seperti tamparan: kedekatan dengan guru bukanlah legitimasi untuk merasa istimewa, melainkan tanggung jawab untuk tetap rendah hati.  
Tradisi pesantren di Jawa Timur kerap menekankan hierarki yang jelas antara guru dan murid. Kedekatan dengan kiai dianggap sebagai anugerah, tetapi sekaligus ujian. 
Di satu sisi, ia memberi akses pada ilmu dan kebijaksanaan; di sisi lain, ia bisa memicu keangkuhan jika murid mulai "merasa dibutuhkan" oleh gurunya. 
Ternyata inilah yang selama ini dimaknai sebagai cedak lampu bloloken. kedekatan yang justru membutakan dan membuat kehancuran dalam berguru.

Kyai Ali Barqul Abid, dengan pendekatan yang lebih adaptif terhadap generasi muda, menggeser narasi tersebut. Baginya, cahaya guru bukan sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan dijadikan kompas. Persoalannya bukan pada jarak fisik atau emosional dengan guru, melainkan pada niat dan cara murid memaknai kedekatan itu. 
"Jangan takut dekat dengan guru, tapi perbarui terus niatmu," pesannya. 
Di sini, ia menekankan pentingnya revisi niat sebuah proses introspeksi berkelanjutan untuk memastikan bahwa kedekatan dengan guru tidak dimanfaatkan untuk pencitraan atau keuntungan pribadi.  

Niat sebagai Pondasi Spiritual
Dalam dunia yang semakin individualistik, godaan untuk menjadikan hubungan dengan guru sebagai simbol status sosial atau alat legitimasi memang nyata. Bagi sebagian anak muda, memiliki akses ke kiai bisa dianggap sebagai "modal" untuk diakui di komunitasnya. Kyai Ali mengingatkan bahwa inilah awal dari kesesatan. Solusinya sederhana namun mendasar: niat yang tulus.  

Dengan memperbarui niat, murid tidak hanya terhindar dari kesombongan, tetapi juga membuka diri pada pencerahan yang lebih autentik.  

Menjaga Keseimbangan dalam Zaman yang Berubah
Pesan Kyai Ali Barqul Abid relevan tidak hanya di lingkungan pesantren, tetapi juga dalam konteks pendidikan modern. Di era ketika relasi guru-murid seringkali direduksi menjadi transaksi ilmu belaka, penting untuk mengembalikan esensi hubungan tersebut sebagai jalan spiritual. Kedekatan dengan guru bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mengasah kerendahan hati dan kepekaan sosial.  

Ungkapan cedak lampu bloloken kini tak lagi sekadar peringatan, melainkan undangan untuk berefleksi: apakah kita dekat dengan guru untuk mencari cahaya, atau justru ingin memantulkan kilau diri sendiri? Jawabannya, menurut Kyai Ali, terletak pada sejauh mana kita berani membersihkan niat dan mengakui bahwa ilmu sejati hanya bisa tumbuh di tanah yang subur: kerendahan hati.  

----Pakunden)

Posting Komentar untuk "Cedak Lampu Bloloken: Antara Kesombongan dan Pencerahan Spiritual"