Di tahun 1999, pengalaman pertama saya nderekne Kyai Imam Muhadi. Saat itu, teman yang sudah biasa nderekne, mengajak saya menyetiri mobilnya.
“Mas, kancanono nderekne,” katanya. Saya setuju, meski perasaan campur aduk: senang bisa dekat dengan ulama besar, tapi juga khawatir melakukan kesalahan.
Pesan teman saya, “Hindari jalan yang ada warung sate gule kambing. Pagi ini tekanan darah Kyai 200.”
Kata teman saya, paginya mengukur tekanan darah kyai, dan kyai ngendikan tentang sate gule.
Kyai duduk di samping saya dengan, sementara Mbah Thoyib dan teman saya di belakang. Mobil bergerak perlahan dari kediaman Mbah Thoyib, Surodikraman menuju Banggel Slahung untuk acara baiatan.
Ketika mendekati Jenes, Dengok, atau Balong, tempat sekiranya ada yang penjual sate gule teman saya berbisik dari belakang, “Cari jalan lain, Mas!”
Saya nurut karena kali pertama nderekne belum tahu ritualnya, namun heran.
Kyai sesekali menunjuk arah dengan jarinya, tanpa sepatah kata. Diamnya seperti teka-teki yang tak terjawab.
Usai acara, kami mengantarkan Mbah Thoyib kondur ke Surodikraman, dan langsung nderekne kyai kondur Nganjuk.
Saat waktu makan tiba, teman saya berbisik, “Cari warung tanpa menu kambing!”
Saya memilih warung nasi Padang Pak Banjar di Sukomoro.
Dengan hati-hati, saya membantu Kyai dahar. Kira-kira dapat separuh kyai tersenyum, “Niki kagem njenengan.” (Ini untukmu).
Langsung saya makan apa yang dihadiahkan pada saya.
Kyai terlihat akrab dengan pemilik warung berjanggut putih. “Sampean sinten?” tanya Kyai.
“Banjar,” jawab si pemilik.
Kyai dan pemilik warung tertawa lepas, sementara teman saya tersenyum dan membisikkan, “Aman, Mas!”
Ketika melewati perlintasan kereta di Baron. Jari Kyai tiba-tiba menunjuk warung sate gule kambing di utara jalan.
“Bungkus kangge Gusdin,” ucapnya lirih.
Saya membeku, ternyata, sate itu untuk putra kesayangannya Gusdin, bukan untuk beliau sendiri.
Rasa malu dan bersalah menggunung.
Selama perjalanan kami menghindari kambing demi kesehatan Kyai, padahal maksud beliau jauh lebih sederhana “hanya ingin membelikan oleh-oleh”
Keesokan hari, saya sowan Mbah Thoyib. Beliau marah besar, “Jangan pernah kau menyimpulkan pikiran guru dengan pengetahuanmu yang dangkal! Setiap ucap dan gerak guru telah ribuan pertimbangan . Bukan tugasmu menebak, tugasmu cuma manut!”. Tugasmu nyekel tampah (telenan terbuat dari anyaman bambu yang mirip setir mobil.
Kata-kata Mbah Thoyib seperti tamparan.
Saya tersadar, "nderekne itu harus manut yang diderekne, bukan yang diderekne ikut yang nderekne”
Jangan pernah terlintas punya prasangka buruk pada gurumu, kata Mbah Thoyib.
Sampai sekarang, setiap kali melihat warung sate gule, saya tersenyum. Bukan karena takut, tapi karena teringat pelajaran mahal dari Sang Guru, “Jangan pernah mengukur samudera hikmah guru dengan cangkir logika kita sendiri.”
Posting Komentar untuk "Jangan Pernah Mengukur Samudera Hikmah Guru Dengan Cangkir Logika Kita Sendiri"