Kisah Mbah Jamal: Mengabdi pada Guru, Menemukan Makna Hidup dalam Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah

Di sebuah sudut tenang di Dusun Banyuarum Kauman, Ponorogo, Jawa Timur, hidup seorang sepuh yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk mengikuti jalan spiritual. Mbah Jamal, begitu ia akrab disapa, adalah sosok yang sederhana namun penuh keteladanan. Sejak muda, ia telah memilih jalan thoriqoh, mengikuti ajaran Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah (TQN-A) sanad Kyai Imam Muhadi dengan penuh kesetiaan. Kini, di usianya yang tak lagi muda, Mbah Jamal masih setia menjadi jamaah di Masjid Al Misbah Banyuarum Kauman, Ponorogo.

Perjalanan spiritual Mbah Jamal dimulai pada tahun 1966, saat ia memutuskan untuk mondok di Pondok Bagbogo. Selama 12 tahun, dari 1966 hingga 1978, ia merasakan suka duka kehidupan pondok yang sederhana. "Pondok Bagbogo saat itu masih sangat sederhana. Kami hidup dengan apa adanya, tapi justru di situlah saya belajar arti kesederhanaan dan ketulusan," kenang Mbah Jamal.

Ia bercerita bagaimana pondok tersebut baru berdiri dan masih dalam tahap perkembangan. Meski fasilitas terbatas, semangat para santri untuk menimba ilmu agama dan mendekatkan diri kepada Allah tak pernah surut. Mbah Jamal mengaku, masa-masa itu mengajarkannya banyak hal, terutama tentang pentingnya kesabaran dan ketekunan.

Setelah meninggalkan Pondok Bagbogo, Mbah Jamal memilih kembali ke kampung halamannya di Ponorogo. Di sana, ia bergabung dengan jamaah Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah di Masjid Al Misbah Banyuarum Kauman. Sejak itu, ia tak pernah meninggalkan kegiatan thoriqoh. Hingga kini, di usianya yang telah senja, Mbah Jamal masih setia mengikuti setiap pengajian dan ritual thoriqoh.
"Thoriqoh ini bukan sekadar ritual, tapi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semua yang kita lakukan adalah bentuk cinta dan pengabdian kepada-Nya," ujar Mbah Jamal dengan suara lembut namun penuh keyakinan.

Resep Awet Mengikuti Guru: Manut dan Tabiin
Ketika ditanya apa resepnya bisa bertahan mengikuti thoriqoh selama puluhan tahun, Mbah Jamal menjawab dengan kalimat sederhana namun penuh makna: "Modalnya manut, puncaknya orang berguru adalah manut karo gurune. Tabiin tabiinna, pokok manut. Nderek guru sampek tutuke umur."

Artinya, kunci utama dalam mengikuti guru adalah kepatuhan. Menurut Mbah Jamal, kepatuhan bukan sekadar mengikuti perintah, tapi juga memahami dan menghayati setiap ajaran yang diberikan. "Guru adalah pembimbing kita. Jika kita manut (patuh), maka kita akan selamat," ujarnya.

Mbah Jamal juga menekankan pentingnya tabiin, yaitu mengikuti jejak guru dengan penuh kesadaran. "Pokoknya, ikuti guru sampai tutup usia. Jangan setengah-setengah," tegasnya.

Kisah Mbah Jamal adalah contoh nyata tentang keteladanan dan kesetiaan dalam mengikuti jalan spiritual. Meski hidup sederhana, ia telah memberikan pelajaran berharga tentang arti pengabdian dan kepatuhan. Bagi para generasi muda, Mbah Jamal berpesan: "Jangan pernah meninggalkan guru. Jika kita setia, insya Allah, kita akan menemukan kebahagiaan sejati."

Di tengah arus modernisasi yang kian deras, kisah Mbah Jamal mengingatkan kita akan pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai spiritual. Ia adalah bukti bahwa kesetiaan dan kepatuhan pada guru bisa membawa seseorang menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

*Banyuarum Kauman Ponorogo)

Posting Komentar untuk "Kisah Mbah Jamal: Mengabdi pada Guru, Menemukan Makna Hidup dalam Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah"