Setiap perpisahan kerap diwarnai harap dan doa. Di tempat jamaah, pondok dan bandara, saat Kyai Ali Barqul Abid berpamitan pada santri-santrinya di Sumatra, ia tak lupa menitipkan mereka, keluarga, dan orang-orang tercinta pada Allah. Doanya singkat, tetapi sarat makna: permohonan kesehatan, rezeki melimpah, kemudahan berusaha dan beribadah, serta harapan bertemu kembali dalam kondisi lebih baik.
Doa ini bukan sekadar tradisi, melainkan manifestasi keyakinan bahwa manusia hanya mampu merencanakan, sementara Allah yang menentukan.
Namun, Kyai Ali mengingatkan: “Jangan berdoa setengah-setengah. Titipkan semuanya pada Allah.”
Pesan ini bukan retorika belaka, melainkan berakar pada kisah nyata di zaman Nabi.
Kisah Sahabat Nabi: Titipan yang Menyala dalam Kubur
Dalam salah satu pengajiannya, Kyai Ali menceritakan riwayat seorang sahabat Nabi yang hendak perang. Saat itu, istrinya sedang hamil.
Dengan penuh keyakinan, ia berpesan: “Aku titipkan anak dalam kandunganmu pada Allah.”
Sepulang perang, sang istri telah meninggal. Malam harinya, kuburannya memancarkan cahaya. Atas inisiatif Sayyidina Umar bin Khattab, kuburan itu dibongkar, dan ternyata bayi dalam kandungannya masih hidup. Ketika ditanya, sahabat itu hanya menjawab: “Aku telah menitipkan bayi dalam kandungan istriku pada Allah.”
Menurut Kyai Ali, kisah ini tercatat dalam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, menjadi bukti bahwa “titipan” pada Allah bukanlah metafora kosong, melainkan ikhtiar batin yang disertai tawakal mutlak.
Doa yang Tak Tanggung: Antara Konsep Tawakal dan Ikhtiar
Kisah tersebut mengajarkan dua hal. Pertama, tawakal bukan berarti pasif. Sahabat itu tetap berperang (ikhtiar), tetapi juga tak lupa menyerahkan hasil akhir pada Allah.
Kedua, doa yang “tanggung” hanya meminta perlindungan bayi dalam kandungan istrinya.
Mungkin cerianya lain, selamat ibu dan bayinya kalau doanya lengkap, jelas Kyai Ali.
Kyai Ali menekankan bahwa doa untuk rezeki, kesehatan, atau keselamatan keluarga meski tak harus spesifik dan menyeluruh, karena Allah Maha Mendengar.
Namun, sering kali manusia membatasi doanya sendiri, entah karena ragu, takut berharap terlalu tinggi, atau lupa bahwa Allah Maha Luas rahmat-Nya, jelas Kyai Ali Barqul Abid.
Di tengah kehidupan modern yang sarat ketidakpastian, mulai dari tekanan ekonomi, kesehatan, hingga krisis lingkungan, kisah ini mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam kecemasan semu.
Ini bukan ajaran fatalistik, melainkan undangan untuk menggabungkan kerja keras dengan keyakinan bahwa hasil akhir ada di tangan Yang Maha Kuasa. .Dalam konteks ini, doa menjadi coping mechanism yang menenangkan sekaligus menguatkan.
Kisah sahabat Nabi dan pesan Kyai Ali mengajak kita merefleksikan kembali cara berdoa. Jangan hanya menitipkan separuh hati, sambil menyimpan kekhawatiran di sudut pikiran.
Seperti bayi dalam kubur yang diselamatkan Allah, tapi ibunya meninggal. Berdoalah mintakan, titipkan, pasrahkan apa itu keluarga, usaha, atau mimpi vadalah bukti bahwa kuasa-Nya melampaui logika manusia.
Di tengah dunia yang semakin kompleks, mungkin inilah saatnya kita kembali pada doa-doa yang utuh: jujur, spesifik, dan penuh kepasrahan.
Sebab, seperti kata Kyai Ali: “Allah tidak pernah setengah-setengah mengabulkan. Masa kita yang berdoa malah tanggung?”
"Bismillahirrahmanirrahim pinaringan sehat, rahayu wilujeng Abah, lan sedayanipun santri-santri."
---Bandara Sultan Thaha Saifuddin Jambi)
Posting Komentar untuk "Kyai Ali Barqul Abid: Menguatkan Iman dengan Doa yang Tak Tanggung, Refleksi Kisah Sahabat Nabi"