Kyai Mahfud Santri Kyai Imam Muhadi di Banjarejo Dagangan Madiun, yang Blak-blakan

Kyai Mahfud, Dagangan Madiun

Banjarejo, Dagangan Madiun.
Tepat di depan rumahnya, Kyai Mahfud setiap hari mengelola Masjid Mathla'ul Anwar. Masjid itu bukan sekadar tempat ibadah, melainkan juga pusat kegiatan spiritual dan sosial bagi warga Banjarejo. Kyai Mahfud, yang pensiun dari profesinya sebagai guru, kini meneruskan perjuangan ayahandanya, Kyai Hanafi, dalam menjaga warisan spiritual keluarga: mengelola masjid dan jamaah Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah sanad Kyai Imam Muhadi Bagbogo Nganjuk.

“Siapa sih yang mau ditinggal kerjaan kayak gini? Ngurus orang banyak, repot,” ujar Kyai Mahfud sambil tertawa ringan. Awalnya, ia mengaku tidak berniat mengambil alih tanggung jawab besar ini. Bahkan, dulu saat ditawari menjadi kepala sekolah, ia menolak. “Sengsara kok ajak-ajak. Mending dolan menyang kuburan golek ayem,” kenangnya.  

Namun, setelah pensiun, Kyai Mahfud merasa tidak memiliki pilihan lain. Ia harus meneruskan perjuangan ayahandanya, yang selama puluhan tahun menjadi panutan warga desa. “Samikna watokna (dengar dan terima saja), akhirnya. Cuma bisa manut lan nurut (ikut dan patuh), gak boleh banyak pilihan,” ujarnya dengan nada pasrah, namun penuh ketulusan.  

Kyai Mahfud tidak sendirian. Para pensiunan dan petani di desa itu sering menjadi teman ngobrolnya. Mereka pun lambat laun menjadi bagian dari jamaah Thoriqoh yang lingkungannya. “Capek selama ini mereka mendikte Gusti Allah. Thoriqoh ini mengajarkan sebaliknya: pasrah, berserah diri. Pikiran dan hati jadi ayem (tenang),” jelasnya.  

Ajaran Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah, yang ia warisi dari gurunya, Kyai Imam Muhadi, menjadi penawar bagi kegelisahan banyak orang, terutama para pensiunan. “Itulah yang seharusnya para pensiunan lakukan. Nyari obat pusing, bukan cari masalah yang makin bikin pusing,” candanya.  

Awalnya, tidak semua warga memahami praktik Thoriqoh ini. Beberapa bahkan menyepelekan, seperti kebiasaan berziarah ke kuburan. “Katanya, orang kok banyak pasrah dan suka dolan ke kuburan,” ujar Kyai Mahfud menirukan komentar orang-orang. Namun, ia dengan tegas membela ajaran ini. “La emang guru situ tanggung jawab? Dunianya saja gak nanggung, apalagi akhiratnya,” ujarnya dengan nada tegas.  

Kyai Mahfud yakin betul pada guru Mursyidnya, Kyai Imam Muhadi. Ia percaya bahwa gurunya tidak hanya bisa diandalkan di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. “Guru Mursyid itu yang kelak berdiri paling depan di akhirat. Jangan merasa pinter dan paling bener, lalu merendahkan Thoriqoh,” tegasnya.  

Ia juga mengingatkan agar tidak mudah meremehkan praktik spiritual seperti ziarah kubur. “Direwangi trutusan turut kuburan biar deket Gusti Allah, kok dibilang macam-macam. Banyak yang ngurusi orang tapi lupa ngurusi diri sendiri,” ujarnya sambil tertawa.  

Di usianya yang tak lagi muda, Kyai Mahfud justru menemukan makna baru dalam hidupnya. Ia tidak hanya menjadi penjaga masjid, tetapi juga penjaga spiritual warga Banjarejo. Setiap hari, ia membimbing jamaahnya untuk menemukan ketenangan hati melalui ajaran Thoriqoh.  

“Hidup ini bukan tentang jadi jagoan atau merasa paling benar. Tapi tentang bagaimana kita bisa dekat dengan Gusti Allah dan membawa ketenangan bagi orang lain,” ujarnya dengan penuh kesadaran.  

Bagi warga Banjarejo, Kyai Mahfud bukan sekadar pemuka agama, tetapi juga sosok yang mengajarkan arti kepasrahan dan kedamaian. Di tengah kesibukannya mengurus masjid dan jamaah, ia justru menemukan ketenangan yang dulu selalu ia cari.  

“Awalnya aku tidak mau, tapi sekarang aku bersyukur. Ini bukan sekadar tugas, tapi panggilan hati,” ujar Kyai Mahfud dengan senyum tulus. Di desa kecil itu, ia telah menjadi cahaya yang membimbing warga menuju ketenangan jiwa.  

Masjid Mathla'ul Anwar, Banjarejo, Dagangan, Madiun)*

Posting Komentar untuk "Kyai Mahfud Santri Kyai Imam Muhadi di Banjarejo Dagangan Madiun, yang Blak-blakan "