Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita harus memilih antara kepentingan diri sendiri atau membantu orang lain, bahkan ketika kita tahu bahwa niat mereka mungkin tidak sepenuhnya tulus. Kisah tentang Gus Mad dan Pak Yadi, dua sosok yang dekat dengan Romo Kyai Imam Muhadi, mengajarkan kita tentang arti memberi tanpa syarat dan melihat kebutuhan di balik setiap tindakan orang lain.
Suatu hari, saya diminta menjemput Gus Mad dari Ndalem Nganjuk ke Ponorogo. Dalam perjalanan, Gus Mad bercerita bahwa ia tahu nanti ia akan ditipu, diakali, atau dimanfaatkan oleh orang yang mengundangnya.
Namun, sebelum saya sempat bertanya atau memprotes, Gus Mad tersenyum, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran saya.
"Mereka mengundangku karena membutuhkanku," katanya dengan tenang.
Gus Mad menjelaskan bahwa ia diajari oleh Romo Kyai Imam Muhadi untuk selalu menolong orang yang membutuhkan, tanpa peduli latar belakang atau niat mereka.
"Tugas kita adalah membantu, bukan menilai," ujarnya.
"Nek Mbah Yai aku diajari ngelmu tetulung gawe nulung uwong sing butuh.' kata Gus Mad sambil mesem.
Pelajaran serupa juga saya dapatkan dari Pak Yadi, seorang murid Romo Kyai Imam Muhadi. Suatu hari, Pak Yadi kedatangan tamu yang sudah beberapa kali datang ke rumahnya. Tamu tersebut saya kenal sebagai seorang yang sering berurusan keris pusaka dan barang antik lainnya, bahkan mengklaim sering bertransaksi bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tamu itu juga sering dimintai tolong untuk menjual atau mencari pusaka, makelar barang antik.
Kali ini, tamu tersebut datang dengan maksud meminta bantuan Pak Yadi untuk mencarikan keris yang ia tahu dimiliki oleh Pak Yadi. Meski saya tahu bahwa tamu ini pernah menipu Pak Yadi di masa lalu, Pak Yadi tetap melayani tamu tersebut dengan ramah. Bahkan, ia menyodorkan rokok Dji Sam Soe dan memberikan beberapa keris yang dimilikinya, bahkan memberikan beberapa lembar uang ratusan.
Setelah tamu itu pergi, Pak Yadi tertawa terkekeh-kekeh, bukan karena ulah tamunya, tetapi karena reaksi saya yang terlihat bingung dan protes.
"Pak Yadi, setahu saya orang ini sudah beberapa kali datang dengan maksud yang sama. Dulu ia bilang mau menjualkan keris, tapi uangnya tidak pernah diberikan kepada njenengan. Kali ini malah pulang membawa uang dan rokok. Kenapa panjenengan masih memberinya?" tanya saya dengan nada protes.
Pak Yadi hanya tertawa lebih keras. "Aku ini diajari Romo Kyai Imam Muhadi untuk ngaledeni uwong, membantu orang. Orang tadi datang karena butuh uang. Dia menipu sana-sini karena sedang butuh. Makanya aku kasih. Toh, keris-keris itu juga tidak pernah kubeli. Barang-barang itu juga datang sendiri," jawabnya dengan santai.
Kisah Gus Mad dan Pak Yadi mengajarkan kita tentang pentingnya memberi tanpa syarat. Mereka tidak peduli apakah orang yang mereka bantu memiliki niat buruk atau tidak. Yang penting adalah mereka melihat kebutuhan di balik setiap tindakan orang lain.
Bagi Gus Mad dan Pak Yadi, membantu adalah bentuk kewajiban atas ilmu yang diperoleh dan atas kepemilikan yang dimiliki, bukan transaksi yang mengharapkan imbalan. Keduanya patuh dan belajar paga Romo Kyai Imam Muhadi, dalam menghadapi orang.
Terkadang, memberi dengan tulus justru membawa kedamaian dan kebahagiaan yang tidak ternilai. Seperti yang diajarkan oleh Romo Kyai Imam Muhadi, "Tugas kita adalah menolong, bukan menilai."
Mungkin, inilah yang membuat Gus Mad dan Pak Yadi selalu tenang dan bahagia dalam menghadapi kehidupan. Mereka tidak terjebak dalam rasa kecewa atau marah ketika dimanfaatkan maupun ditipu, karena yakin apa yang diajarkan Romo Kyai sarat dengan dalamnya makna.
Yang menjadi pertanyaan, apakah saya bisa??
Jawaban Gus Mad dan Pak Yadi sama, 'Yaa Latihan....."
Posting Komentar untuk "Latihan Melayani Penipu, pada Gus Mad dan Pak Yadi."