Mbah Toyib: Kisah Tawadhu dan Kesetiaan Seorang Murid kepada Gurunya

Kyai Toyib, Mbah Maún, Mbah Sarmoen

Pilang Surodikraman Ponorogo.
Ada santri sepuh yang dikenal dengan panggilan Mbah Ma’un. Meski nama resminya tercatat sebagai Mbah Sarmoen di KTP, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Mbah Toyib. Beliau adalah badal (pengganti) dari Kyai Imam Muhadi, seorang ulama kharismatik yang menjadi panutan banyak orang. Namun, Mbah Toyib lebih suka menyebut dirinya sebagai “babune Kyai Suhadi” (pembantunya Kyai Suhadi) ketimbang dipanggil Kyai. “Kyaîne yo nggur siji, aku iki babune,” ujarnya dengan rendah hati. 

Meski usianya lebih tua dari Kyai Imam Muhadi, Mbah Toyib lahir pada 1918, sedangkan Kyai Imam Muhadi lahir pada 1922, tawadhu (kerendahan hati) beliau luar biasa. Padahal, dari jalur keluarga, Mbah Toyib sebenarnya berhak menjadi Mursyid (pemimpin spiritual). Namun, beliau memilih untuk mengikuti jalur gurunya, Kyai Imam Muhadi, dengan penuh kesetiaan.

Awal Pertemuan dengan Sang Guru
Mbah Toyib mengenal Kyai Imam Muhadi melalui anaknya, Pak Shaduk, yang sebelumnya mondok di pesantren sang Kyai. Suatu hari, Kyai Imam Muhadi berkata kepada Mbah Toyib, “Awakmu mbesok tugasmu neruske aku.” Saat itu, Mbah Toyib merasa ragu. “Kula nopo saget lo Kyai…” tanyanya dengan hati yang gamang. Namun, Kyai Imam Muhadi hanya tersenyum dan berkata, “Kok tandangi karepmu, ora yo karepmu. Aku nggur dikabari Gusti Allah.” 

Bagi Mbah Toyib, perintah guru adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan. “Guru lebih tahu,” ujarnya. Sejak saat itu, beliau menjadi orang kepercayaan Kyai Imam Muhadi di Ponorogo.

Kesetiaan yang Tak Pernah Pudar
Kesetiaan Mbah Toyib kepada Kyai Imam Muhadi terlihat dalam setiap langkah hidupnya. Ketika Kyai Imam Muhadi memiliki acara baiatan (pengangkatan murid) di Ponorogo, Mbah Toyib selalu mendampingi sebagai badalnya. Pada masa itu, transportasi belum semudah sekarang. Kyai Imam Muhadi dari Nganjuk naik bus, kemudian melanjutkan perjalanan dengan angkot, dan terakhir naik becak. Dalam perjalanan itu, Mbah Toyib selalu duduk agak maju, sambil memangku koper Kyai. Bukan karena Kyai Imam Muhadi gemuk atau Mbah Toyib lebih kurus, melainkan karena rasa tawadhu seorang murid kepada gurunya.

“Situasi tersebut sering kami lihat dan kami nantikan di buk, jembatan kecil dekat rumpun bambu ORI, batas makam Pilang,” kenang seorang santri yang pernah menyaksikan langsung. “Kami anak-anak waktu itu sering berlarian di belakang becak yang dinaiki Kyai. Kyai dan Mbah Toyib selalu tersenyum melihat kami.”

Sesampai di masjid, Mbah Toyib turun terlebih dahulu. Setelah Kyai turun, beliau berjalan di sebelah kiri dan mengikuti Kyai ke serambi masjid. Begitu Kyai duduk istirahat, Mbah Toyib langsung menuju sumur di samping masjid untuk menimba air, mempersiapkan wudhu atau membersihkan diri Kyai setelah perjalanan jauh. “Maklum, tahun 1987-an belum banyak pompa air listrik,” ujar seorang santri lain.

Doa dan Kesederhanaan
Setelah acara baiatan, Kyai Imam Muhadi biasanya beristirahat di rumah Mbah Toyib. Namun, menurut cerita Mbah Toyib, Kyai jarang tidur. “Lebih banyak duduk di kursi rotan,” kenangnya. Seringkali, Kyai merokok sampai kursi rotan itu bolong. “Aku gak wani ngomong, yen gak diajak ngomong. Meski adzan uga gak wani ngaturi. Wedi yen kyai ngendikan, gek sholatmu Kuwi opo Yib,” cerita Mbah Toyib dengan serius.

Ketika kabar wafatnya Kyai Imam Muhadi sampai ke telinga Mbah Toyib, beliau tak bisa menahan tangis. Panik, beliau langsung sowan (berkunjung) ke rumah Kyai. Beruntung, Mbah Toyib masih sempat mengikuti prosesi pemakaman dan memberikan doa penutup sambil terisak-isak.

Warisan yang Terus Dijaga
Setelah Kyai Imam Muhadi wafat, Mbah Toyib melanjutkan tugas baiatan di daerah Ponorogo. Setelah beliau wafat, tugas tersebut diteruskan oleh Kyai Amenan Zamzami dan Kyai Kamdi, hingga akhirnya sampai ke Kyai Ali Barqul Abid. Doa khas Mbah Toyib saat mengakhiri setiap baiatan selalu sama: “Mugi mugi kito sami saget gandeng lan nderek Kyai Imam Muhadi ngantos tutuke umur.” Doa serupa juga diucapkan oleh Kyai Kamdi saat memimpin baiatan.

Mbah Toyib: Kesetiaan Hingga Akhir Hayat
Meski usianya telah melampaui 90 tahun, Mbah Toyib tetap setia menunaikan tugas dan janjinya kepada Kyai Imam Muhadi, gurunya. Kesetiaan itu tak pernah pudar, bahkan hingga detik-detik terakhir beliau masih memimpin baiatan (pengangkatan murid) dengan penuh khidmat. Namun, suatu ketika, saat beliau berdiri untuk membaca baiat, tiba-tiba beliau terdiam. Lupa apa yang harus diucapkan. Saat itu, Mbah Toyib langsung sujud syukur, “Alhamdulillah wis temakane janji.” Beliau merasa bahwa tugasnya telah selesai, janjinya kepada sang guru telah terpenuhi.

Setelah peristiwa itu, anaknya, Pak Kumaidi yang juga alumni Bagbogo memamitkan kepada para santri bahwa Mbah Toyib tidak akan bisa hadir lagi di acara baiatan. “Setelah ini, Mbah Toyib tidak akan bisa lagi hadir,” ujar Pak Kumaidi dengan suara lirih. Tak beberapa bulan kemudian, Mbah Toyib wafat pada bulan Ramadan, meninggalkan duka yang mendalam bagi para santri dan keluarga besar Kyai Imam Muhadi.

Warisan yang Tak Terlupakan
Kesetiaan Mbah Toyib kepada Kyai Imam Muhadi adalah teladan yang langka. Meski usianya lebih tua dari sang guru, beliau tetap tunduk dan patuh, menjalankan setiap tugas dengan penuh tanggung jawab. Bahkan di usia senja, beliau masih bersedia menempuh perjalanan jauh, mendampingi Kyai Imam Muhadi dalam setiap baiatan. “Kami sering melihat beliau menimba air untuk wudhu Kyai, meski tubuhnya sudah renta,” kenang seorang santri.

Setelah Kyai Imam Muhadi wafat, Mbah Toyib melanjutkan tugas baiatan di daerah Ponorogo. Beliau menjalankannya dengan penuh dedikasi, hingga akhirnya merasa bahwa tugasnya telah selesai. “Alhamdulillah wis temakane janji,” ucapnya penuh syukur saat beliau lupa membaca baiat. Saat itu, beliau tahu bahwa waktunya telah tiba untuk beristirahat.

Penutup
Kisah Mbah Toyib adalah cerita tentang kesetiaan, kerendahan hati, dan penghormatan seorang murid kepada gurunya. Beliau mengajarkan kita bahwa janji adalah sesuatu yang harus ditunaikan, meski usia telah senja dan tenaga mulai berkurang. “Mugi mugi Kito sami saget gandeng lan nderek Kyai Imam Muhadi ngantos tutuke umur,” doa khas Mbah Toyib yang selalu diucapkan saat mengakhiri baiatan, menjadi pengingat bagi kita semua untuk tetap setia pada jalan yang telah dipilih.

Mbah Toyib meninggalkan warisan yang tak ternilai: kesetiaan, tawadhu, dan doa yang tulus. Semoga kita semua bisa meneladani sikap beliau, dan seperti doanya, semoga kita semua bisa terus mengikuti jejak Kyai Imam Muhadi hingga akhir hayat.

*Pilang Surodikraman)

Posting Komentar untuk "Mbah Toyib: Kisah Tawadhu dan Kesetiaan Seorang Murid kepada Gurunya"