Di tengah gempuran budaya global yang kerap menggerus nilai-nilai lokal, Pagar Nusa hadir sebagai benteng yang tak hanya menjaga teknik beladiri warisan leluhur, tetapi juga memelihara filosofi hidup yang dalam. Setiap jurus, seperti sikap pasang atau kuda-kuda, sarat makna. Misalnya, gerakan membuka tangan lebar sebelum bertarung bukan sekadar pemanasan, melainkan simbol keterbukaan hati untuk belajar dan menghormati lawan.
" Ini bukan beladiri untuk pamer kekuatan, tapi untuk mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati ada pada kerendahan hati," ujar salah satu santri peserta lomba tunggal.
Tak heran, Pagar Nusa kerap disebut sebagai taṣawuf dalam gerak. Di pondok ini, latihan beladiri selalu diawali dengan dzikir dan diakhiri refleksi.
"Kami diajari bahwa setiap pukulan harus punya niat: bukan untuk melukai, tapi melindungi diri dan orang lain," tambah Anam. Pendekatan ini mencerminkan integrasi antara ilmu lahir dan batin, yang menjadi ciri khas pendidikan pesantren salaf.
Gus Malik kerap bercerita tentang alumni yang kembali ke desa dan menggunakan ilmu Pagar Nusa untuk hal-hal tak terduga. Ada yang menjadi pelatih beladiri pemuda setempat, mengalihkan mereka dari tawuran; ada pula yang membentuk komunitas ronda malam untuk menjaga keamanan kampung.
"Ilmu ini bukan untuk diceritakan, tapi dibuktikan. Seperti Abah Kyai Imam Muhadi dulu, yang menggunakan Pagar Nusa untuk membela rakyat dari penjajah," kisahnya. Kisah-kisah semacam ini menjadi motivasi bagi santri seperti Ufi, asal Jambi.
"Di sini saya belajar bahwa membela tak harus dengan kekerasan. Kadang, cukup dengan menjadi teladan lewat disiplin dan kepedulian," katanya.
Perhelatan Haul dan Haflah Akhirusanah tahun ini menutup dengan prosesi tawashul bersama, mengirim doa untuk para pendiri pondok dan seluruh umat Islam. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin individualistik, acara seperti ini mengingatkan kita bahwa pesantren tetap menjadi oase yang menawarkan ketenangan, kebersamaan, dan kesadaran akan jati diri.
Pagar Nusa, dalam hal ini, bukan sekadar seni beladiri. Ia adalah cermin dari visi pendidikan pesantren yang holistik: membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional, tangguh secara fisik, dan peka secara spiritual.
Seperti kata Gus Malik dalam sambutan penutupnya, "Santri itu harus seperti bambu: akarnya menghujam ke bumi (konsep tawadhu’), batangnya kokoh menjulang (berilmu), dan daunnya melambai-lambai memberi kesejukan (bermanfaat bagi sesama)."
Malam itu, ketika para santri berpamitan pulang ke asrama, satu pelajaran penting tertinggal: di tangan merekalah estafet tradisi dan nilai-nilai luhur ini akan terus hidup.
Pagar Nusa bukan hanya warisan masa lalu, melainkan jalan untuk merancang masa depan, di mana setiap santri menjadi “pagar” yang menjaga martabat, keadilan, dan kemanusiaan.
*Lutfu Bagbogo)
Posting Komentar untuk "Pagar Nusa: Merawat Tradisi dan Karakter Santri di Tengah Geliat Zaman"