Spiritualitas dan Aktivisme: Harmoni Abadi di Pesantren Manbaul Adhim

Gus Ali, bersama anak-anak Band di Ponorogo

PONOROGO,  Malam itu di jalan Tjokroaminoto pojok pertokoan Ngepos Ponorogo , dentuman musik bergema. Seorang pemuda dengan gitar listrik mengalunkan melodi, sementara di sudut lain, sekelompok santri melantunkan sholawat. Di tengah keriuhan, seorang kyai muda duduk santai, sesekali tersenyum menyaksikan dinamika itu. Ia adalah Gus Ali Barqul Abid, penerus estafet kepemimpinan pesantren yang sejak era 1970-an menegaskan: spiritualitas dan realitas sosial bukanlah dua kutub yang bertolak belakang.  

Dari Bawah Tanah ke Tengah Gelanggang
Akar Pesantren Manbaul Adhim tertanam dalam kisah perlawanan halus. Awal 1970-an, Mbah Ahmad Toha dan tiga sahabatnya—Pak Yadi, Gunawan (Igun), dan seorang lagi—adalah pemuda Ponorogo yang gelisah. Mereka rajin mengaji fikih di Masjid Jarakan dan Durisawo, tapi jiwa mereka merindukan sesuatu yang lebih. Diam-diam, mereka menyusup ke majelis Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah pimpinan Kyai Imam Muhadi, yang kala itu masih dilakukan sembunyi-sembunyi.  

“Mereka sering menghilang beberapa hari,” kenang Pak Igun. Ternyata, mereka berguru pada sang kyai yang saban 35 hari (selapan) singgah di Ponorogo. Kyai Imam Muhadi bukanlah ulama biasa. Di tengah represi Orde Baru, ia membuka ruang bagi anak-anak muda yang tak hanya haus ilmu agama, tapi juga gandrung pada seni, teater, dan kritik sosial.  

Ketika kelompok teater mereka mempertunjukkan kritik terhadap rezim, aparat datang memberangus. Beberapa pemuda ditahan di kantor PM (Polisi Militer). Saat genting itu, Kyai Mustain Romli guru Kyai Iman Muhadi, anggota DPR dari Golkar mengirim memo bertuliskan: “Ini anak buah saya, mohon kerja samanya.” Mereka pun dilepaskan. Kisah ini menjadi simbol bagaimana pesantren ini tak hanya mengajarkan tauhid, tapi juga keberanian. 

Jala Tol Spiritual ala Ponorogo
“Kamu gak bakalan kuat ngaji kitab seperti anak pondok,” canda almarhum Pak Yadi yang bagi anak anak muda dianggap Kakangan. “Makanya, Kyai mengajarkan tarekat sebagai jalan tol.”  

Metafora “jalan tol” itu tepat. Di pesantren ini, anak-anak band, seniman lukis, tukang cukur, sopir travel, hingga pemain teater menemukan ruang. Mereka tak diwajibkan mondok, tapi tetap disirami ajaran tasawuf. Kyai Imam Muhadi sering menggelar pertunjukan “kebal bacok” atau “tahan api” di alun-alun—bukan untuk pamer kesaktian, melainkan menarik minat publik agar mau mendekat pada spiritualitas.  

Strategi itu berhasil. Yayasan Missi Suara Prana (YMSP) didirikan sebagai payung hukum sekaligus pelindung dari incaran aparat. Kantornya di Jalan Semeru 22-A Ponorogo menjadi markas anak muda yang ingin mengabdi pada masyarakat tanpa tercerabut dari akar spiritual.  

Ketika Pemuda Ponorogo Menjaga Makam di Baghdad 
Puncak ketegangan terjadi saat invasi Irak tahun 1990-an. Anak-anak YMSP nekat mendaftar sebagai relawan untuk menjaga makam Sultan Aulia Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad. Kyai Imam Muhadi mendukung langkah itu. “Mengabdi pada kemanusiaan adalah bagian dari menyembah Ilahi,” ujarnya.  

Semangat itu masih hidup hingga kini. Di bawah Gus Ali Barqul Abid, regenerasi berjalan organik. Gus Ali seperti pendahulunya adalah kyai yang melebur dengan dunia anak muda. Hobinya pada musik, voli, dan bonsai membuatnya akrab dengan kelompok band, seniman pertunjukan, hingga komunitas bonsai, pendaki gunung, dan pemilik dan panitia kuda pacuan. Begitupun Gusdin rela bolak balik Ponorogo Nganjuk hampir saban pekan untuk mengawal dan meneruskan agenda Romonya. 

Setiap malam Jumat mereka khususiyah, dan malam ke-11 bulan Hijriah, mereka menggelar Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Acara yang dimulai pukul 22.00 itu sengaja dirancang agar para pemuda yang bekerja siang hari tetap bisa berpartisipasi. “Ini cara kami menghargai jiwa seni dan tanggung jawab mereka,” kata Gus Ali memberikan kebebasan dan kelonggaran.

Pesantren yang Tak Membuat Jera
Yang unik dari pesantren ini adalah kemampuannya merangkul mereka yang “bukan anak pondok”. Seorang santri bercerita: “Kami seneng dolan ke sini karena tidak merasa dihakimi.” Gus Ali sering muncul di tengah latihan band atau diskusi seni, tak jarang membawa humor dan kisah-kisah sufistik.  

Kyai-kyai lain mungkin iri. Sebab, di sini, anak muda yang dianggap “liar” justru menemukan kedamaian. Mereka diajak menghujam seperti akar aktif di masyarakat sementara pucuk jiwa mereka tetap menjulang ke langit.  

Di Gunung Cumbri
Gus Ali bersama anak band, warung Batikan  
Warisan yang Tak Lekang
Kini, Pesantren Manbaul Adhim selalu menjadi oase. Dari sini lahir seniman yang piawai melantunkan sholawat, musisi yang hafal kitab kuning, dan aktivis yang tekun berzikir. Warisan Kyai Imam Muhadi dan Pak Yadi terbukti abadi: spiritualitas dan kemanusiaan adalah dua sisi mata uang yang sama.  

Seperti bonsai yang dirawat Gus Ali, harmoni itu butuh kesabaran. Tapi selama akar menghujam ke bumi, pucuknya akan terus menjulang—menantang zaman tanpa kehilangan ruh. 

*Tulisan ini telah diverifikasi oleh sejumlah narasumber dekat Pesantren Manbaul Adhim. Nama tertentu disamarkan untuk menghormati privasi.*

Posting Komentar untuk "Spiritualitas dan Aktivisme: Harmoni Abadi di Pesantren Manbaul Adhim"