Di sebuah pagi di Ponorogo, dua santri Pondok Pesantren Manba'ul Adhim, Bagbogo, Nganjuk, termangu di depan bengkel AHAS. Motor Honda Vario mereka, yang mogok dua pekan sebelumnya, tak kunjung bisa diperbaiki. Uang 400 ribu rupiah telah habis untuk ganti spare part, tapi mesin tetap tak mau hidup. Mekanik menyerah. Motor itu pun diangkut pickup ke AHAS, harapan terakhir. Sayang, nasib belum berpihak: bengkel tutup, sang montir libur kalau hari Minggu. Padahal, esok pagi, mereka harus menghadiri hari pertama perkuliahan di Kediri. Jarak 60 kilometer dari pondok ke kampus harus ditempuh dengan motor yang kini terkatung-katung.
Kisah ini bukan sekadar soal mesin rusak atau uang yang terbuang. Ini tentang jaringan kebaikan yang tersambung lewat ikatan keikhlasan, silaturahmi, dan spiritualitas pesantren. Kyai Ali Barqul Abid, yang mendengar kabar itu, segera menghubungi santri-santrinya. Seorang santri lain menjemput kedua anak pondok itu, lalu menghubungi sepupunya yang bekerja di AHAS. Tak disangka, sepupu ini—yang juga murid Kyai Imam Muhadi sekaligus santri Kyai Ali—langsung bertindak. Ia menghubungi montir AHAS, memastikan motor segera diperbaiki.
"Nanti saya pandu dari jauh," janji sang montir setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sore-nya, motor itu pun kembali mengaum, mengantar kedua santri tepat waktu ke kampus.
Kejutan berlanjut keesokan harinya saat baiat TQN-A oleh Kyai Ali di masjid Pilangrejo Surodikraman. Di tengah kerumunan jamaah, sang montir AHAS muncul. Ternyata, ia juga santri Kyai Imam Muhadi. Ayahnya bahkan termasuk panitia awal baiatan di Ponorogo. Mereka tertawa lepas: dunia pesantren memang "terlalu sempit".
Saat tahu cerita kalau teman yang bekerja dengannya juga santri Bagbogo, sekaligus bertetanggaan dengan nya. Menambah dia geleng-geleng kepala.
Di Haul Syekh Kyai Imam Muhadi dan Haflah Akhirusanah pekan lalu, pertemuan itu kembali terjadi. Sang montir hadir, dan kedua santri (keduanya berasal dari Sumatra) yang dulu panik itu kini tersenyum lega.
"Perjuangan Kyai Imam Muhadi sudah mendarah mendaging," ujar seorang santri.
Ada yang diam-diam mengabdi, ada yang terang-terangan, tapi semuanya terhubung dalam satu simpul: lillahi ta'ala.
Kisah ini menggambarkan denyut nadi komunitas pesantren yang tak tercatat di peta resmi. Jaringannya hidup melalui kesederhanaan, ketulusan, dan keyakinan bahwa setiap masalah adalah ujian sekaligus jalan untuk mempererat ukhuwah.
Mekanik bukan sekadar montir, tapi bagian dari rantai dakwah. Santri tak hanya menuntut ilmu, tapi juga belajar memaknai pertolongan sebagai bentuk tawakal.
Di tengah individualisme modern, jaringan seperti ini adalah oase. Ia mengingatkan kita bahwa di balik hiruk-pikuk teknologi, manusia tetap butuh ikatan hati—yang seringkali justru terjalin lewat hal-hal remeh: motor mogok, panggilan telepon mendadak, atau senyum kembang di acara haul.
Ponorogo, Nganjuk, Kediri—jarak geografisnya mungkin jauh. Tapi dalam tradisi pesantren, semua dekat. Kyai Imam Muhadi mungkin telah wafat, tapi ajaran al-muhafadzatu 'ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (menjaga tradisi baik dan mengambil inovasi yang lebih baik) tetap hidup. Di tangan santri-santri yang saling menolong tanpa pamrih, warisan itu menjadi nyata: bukan melalui ceramah, tapi lewat tindakan kecil yang menyatukan mesin motor, doa, dan hati.
Di dunia yang semakin luas, pesantren mengajarkan kita untuk tetap merasa "sempit"—agar tak pernah lupa: setiap langkah kita selalu terhubung dengan saudara seperjuangan, meski tak satu kampung, satu bengkel, atau satu generasi. Inilah kekuatan yang membuat motor mogok tak lagi jadi bencana, melainkan pintu menuju pertemuan bermakna.
---Pilangrejo Surodikraman)
Posting Komentar untuk "Dunia yang Sempit: Jaringan Kebaikan di Balik Motor Mogok Santri"