Gus Ali : Setiap Orang Punya Panggungnya Sendiri, Menghargai Keunikan Takdir

Gus Al.., Nanang Karjo, dan Mas Kur
Di sudut angkringan yang tenang, seorang santri mengeluh pada Kyai Ali Barqul Abid tentang nestapa hidupnya: dikhianati orang dekat, merasa tak seberuntung orang lain. Ia membandingkan diri dengan si A yang bahagia jalan-jalan, si B yang hidupnya dijamin negara, atau si C yang dipuja murid-muridnya. Kyai Ali, sembari menyeruput kopi dan mengepulkan asap rokok, tertawa renyah. Dari obrolan santai itu, terurai hikmah yang dalam: tentang peran hidup, topeng kebahagiaan, dan ikhlas yang tak sekadar kata.

Setiap Orang Punya Panggungnya Sendiri
Kyai Ali mengingatkan: “Saya tidak bisa menjadi kamu, kamu tidak bisa menjadi dia.” Setiap manusia adalah aktor di panggung takdir dengan naskah berbeda. Guru yang dihormati, pelawak yang membuat orang tertawa, atau penyanyi yang selalu bersenandung—semua punya sisi yang tak terlihat. “Siapa tahu, pelawak itu menangis di rumah. Penyanyi pun bisa sedih saat tak ada yang mendengar lagunya,” ujarnya. Kita sering terjebak membandingkan “babak terang” hidup orang lain dengan “babak gelap” diri sendiri, tanpa sadar bahwa setiap panggung punya adegan sunyi yang tak terpublikasi.

Ikhlas: Bukan Hanya tentang Memberi, tapi Juga Memaafkan
Kyai Ali menyentil konsep ikhlas yang sering disalahpahami. *“Ikhlas orang umum: memberi tanpa mengingat. Tapi bagi kita yang belajar menata hati, ikhlas adalah memberi, lalu tersenyum saat yang diberi justru menyakiti.”* Di sini, ikhlas bukan sekadar tidak menghitung jasa, melainkan kemampuan menjaga kelapangan dada saat kebaikan dibalas pengkhianatan. Ia bercanda sambil menunjuk jantungnya: “Sakitnya sampai sini… Tapi kita harus tetap mendoakan mereka.” Ini adalah ikhlas tingkat tinggi: merelakan luka sebagai pupuk untuk tumbuh lebih bijak.

Belajar Berdamai dengan Hidup ala Romo Kyai Imam Muhadi
Kyai Ali mengutip wejangan Romo Kyai Imam Muhadi: “Hidup tak selalu sesuai keinginan. Tugas kita adalah berkompromi dengan hati.” Berkompromi bukan berarti kalah, tapi menerima bahwa suka dan duka adalah dua sisi koin yang sama. Seperti petani yang tak marai ketika hujan mengguyur benihnya, kita harus percaya bahwa setiap musibah adalah cara Tuhan mengajarkan ketahanan. 

Angkringan Boy
Menjadi “Aku” yang Utuh
Persoalan hidup kerap muncul saat kita ingin menjadi versi orang lain alih-alih mengoptimalkan peran yang Tuhan beri. Padahal, seperti kata Kyai Ali, keunikan takdir adalah keindahan itu sendiri. Guru tak perlu iri pada penyanyi, penyanyi tak perlu mendamba pujian murid, dan kita semua tak perlu mengutuk luka hanya karena melihat orang lain tertawa. Sebab, kebahagiaan sejati bukanlah tentang menjadi sosok lain, melainkan merengkuh ikhlas sebagai bekal menjalani peran kita sendiri—dengan segala kelebihan, kekurangan, dan kejutan takdir yang menyertainya.  

Di akhir obrolan, Kyai Ali mengingatkan: “Hidup ini seperti kopi. Ada yang pahit, ada yang manis. Tugasmu bukan mengeluhkan rasanya, tapi menemukan cara menikmatinya.”
Mungkin, inilah esensi kedewasaan: belajar meminum pahitnya ujian tanpa lupa mensyukuri manisnya anugerah.

---Angkringan Boy Ponorogo)

Posting Komentar untuk "Gus Ali : Setiap Orang Punya Panggungnya Sendiri, Menghargai Keunikan Takdir"