Kyai Ali : Doa yang Mengundang Cobaan, Refleksi atas Spiritualitas yang Tak Instan

 
Gus Al......

Di tengah senyap malam Ponorogo, Kyai Ali Barqul Abid duduk santai di warung angkringan, dikelilingi santri-santri alumni Badegan yang datang sowan. Suasana akrab dan cair itu sengaja ia ciptakan agar para santri leluasa bercerita, bertanya, atau sekadar melepas rindu. Tak ada jarak formal antara guru dan murid, hanya percakapan yang mengalir seperti obrolan keluarga. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan pelajaran spiritual yang dalam.  

Saat seorang santri meminta doa kesabaran dan ketabahan sebelum pamit, sang kyai tiba-tiba tertawa. Tawa itu bukan ejekan, melainkan pintu masuk untuk mengajak para santri—dan kita semua—merefleksikan hakikat doa. “Kalau sampeyan minta kesabaran, artinya akan ada ujian yang datang menguji kesabaran itu. Kalau minta ketabahan, bisa jadi cobaan akan menghampiri keluarga sampeyan,” jelas Kyai Ali.  
  
Dalam tradisi spiritualitas Islam, doa sering dipahami sebagai medium meminta sesuatu kepada Allah. Namun, Kyai Ali mengingatkan: doa bukan sekadar daftar permintaan layaknya memesan di aplikasi online. Doa adalah bentuk husnudzon (prasangka baik) kepada Allah, di mana keyakinan total harus mengiringi setiap kata yang dipanjatkan. Masalahnya, manusia kerap meminta dengan setengah hati: ingin bahagia tanpa melalui kesedihan, ingin kuat tanpa pernah lelah, atau ingin sabar tanpa mau diuji.  

Kyai Ali mengkritik kecenderungan manusia untuk “menantang” takdir melalui doa-doa yang bersifat antisipatif. Minta kesabaran sebelum masalah datang, misalnya, ibarat meminta obat sebelum sakit. Padahal, dalam konsep Islam, ujian dan anugerah adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Kesabaran hanya bermakna ketika ada kesulitan yang dihadapi; ketabahan baru menjadi kekuatan saat godaan menghadang.  

Pelajaran penting dari Kyai Ali adalah tentang keikhlasan dalam berelasi dengan Yang Mahakuasa. Doa yang “mengambang”—meminta hal-hal spesifik tanpa kesiapan mental—justru mencerminkan ketidaksiapan kita menerima skenario Allah yang mungkin tak sejalan dengan harapan. Di sinilah letak keindahan doa-doa umum yang diajarkan sang kyai: keselamatan, kesehatan, kecukupan rezeki, dan kemudahan menjalani hidup. Doa-doa ini tidak mengikat, tidak membatasi, dan membuka ruang bagi Allah untuk memberi sesuai kehendak-Nya.  

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216). Doa yang tulus adalah doa yang disertai penyerahan diri: “Ya Allah, berilah aku apa yang Engkau tahu terbaik untukku.”

Kisah Kyai Ali dan santrinya ini relevan dengan konteks masyarakat modern yang kerap terjebak dalam pola pikir instan dan pragmatis. Doa dianggap “tidak terkabul” jika tak sesuai ekspektasi, seolah-olah manusia berhak menuntut Tuhan layaknya konsumen. Padahal, spiritualitas sejati justru lahir dari kemampuan melihat hikmah di balik setiap ketidaknyamanan.  
 
Dengan gaya komunikasinya yang cair, Kyai Ali mengajak kita untuk tidak takut pada ujian, melainkan memandangnya sebagai jalan penguatan iman. Bagi seorang santri, ini adalah pendidikan mental: hidup tak selamanya mudah, tetapi selama kita terhubung dengan guru, keluarga, dan nilai-nilai ketuhanan, setiap langkah akan bermakna.  

Percakapan di warung angkringan itu berakhir menjelang subuh. Kyai Ali mengingatkan bahwa doa adalah cermin dari kondisi batin seseorang. Doa yang penuh keikhlasan dan ketulusan akan melahirkan ketenangan, sementara doa yang dipenuhi keinginan mengontrol takdir hanya akan melahirkan kegelisahan.  

Mungkin inilah yang sering terlupa: bahwa hakikat doa bukanlah mengubah takdir, melainkan mengubah diri kita agar sanggup menerima takdir dengan lapang. Seperti pesan Kyai Ali: “Jangan setengah-setengah berhusnudzon pada Allah. Kalau sudah percaya, percayalah sepenuhnya.”

Di tengah dunia yang semakin kompleks, kisah sederhana dari Ponorogo ini layak menjadi renungan: sudahkah doa-doa kita lahir dari ketulusan, atau justru dari keinginan untuk menghindar dari ujian?  

---Angkringan Boy)
 

Posting Komentar untuk "Kyai Ali : Doa yang Mengundang Cobaan, Refleksi atas Spiritualitas yang Tak Instan"