Kyai Ali Barqul Abid, Baiatan TQN-A di Masjid Kyai Ageng Moh Besari Tegalsari |
Suatu hari, Kun meminta, “Kalau dapat berkat, dibagi-bagi dong, jangan dinikmati sendiri." Ia sering baca dan mengikuti story WhatsApp saya. Berkat yang dimaksud sekadar nasi kotak sehabis hajatan, tapi keberkahan seperti mempunyai guru pembimbing dunia akhirat yang saya shared di story WhatsApp saya.
Saya menjawab dengan canda, mengajaknya datang ke Masjid Tegalsari Jetis Ponorogo pada Ahad malam Senin Kliwon bakda isya. Saat itu, saya lupa bahwa ajakan itu justru menjadi titik balik hidupnya.
Kun datang sejak magrib, duduk di shaf belakang, menyimak rawuhnya Kyai Ali Barqul Abid. Tak ada yang ia ketahui tentang acara itu, kecuali janji saya: “Hadir dan ikuti saja.”
Usai isya, takmir masjid mengumumkan acara inti: baiat Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah. Kun, yang selama ini mengikuti pengajian online dan seminar motivasi, terkesiap. Ia tak menyangka akan menyaksikan ritual spiritual yang begitu khusyuk: sholat sunah bakdiyah isya, tobat, tasbih, hajat, diiringi taujih Kyai Ali yang menyitir kitab-kitab klasik.
“Mburu akhirat ndonyane katut. Mburu ndonyo, ndonyone durung mesti entuk, opo maneh akherate.”
Suara Kyai Ali mengutip kitab kuning menggetarkan ruang. “Barang siapa mengejar akhirat, dunia akan mengikuti. Tapi yang mengejar dunia, belum tentu mendapat dunia, apalagi akhiratnya”
Kalimat itu seperti pisau yang menyayat ilusi. Kun, yang selama ini menguras tenaga demi karir dan materi, tiba-tiba merasa seluruh usahanya menguap sia-sia. “Rasanya seperti orang sakit kepala kronis yang tiba-tiba diberi sekantong aspirin,” katanya kemudian, tertawa getir.
Dalam gerimis malam, kami berbincang di warung dekat Jembatan Keyang. Kun mengaku, selama ini ia mencari “obat” melalui seminar pengembangan diri, konten motivasi di YouTube, atau ritual-ritual instan yang menjanjikan kesuksesan. Namun, malam itu ia menemukan sesuatu yang berbeda: ketenangan. “Inilah guru yang selalu muncul dalam mimpi,” ujarnya. Kyai Ali, dengan sanad keilmuannya, tak sekadar mengajarkan amalan, tetapi juga tata cara menjemput ridho Ilahi.
Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah—sebagai jalan sufi yang memadukan dzikir, muraqabah, dan ketaatan pada mursyid—rupanya menjadi jawaban atas kegelisahannya. Bagi Kun, baiat itu bukan sekadar ikrar, melainkan komitmen untuk merapuhkan ego, mengalirkan hidup dalam koridor tauhid, dan meletakkan dunia sebagai sarana, bukan tujuan.
Apa yang dialami Kun mengingatkan kita pada nasihat Imam Al-Ghazali yang disampaikan Kyai Ali di masjid Tegalsari: “Jika engkau berbisnis untuk dunia, kehilangan akhirat lebih merugi. Tapi jika engkau berbisnis untuk akhirat, dunia akan datang membungkuk.” Sayangnya, manusia kerap terbalik memandang. Kita mengorbankan waktu untuk hal-hal fana, sementara persiapan menuju akhirat—yang kekal—dianggap bisa ditunda.
Kyai Ali dalam taujiah-nya menekankan bahwa mengejar akhirat bukan berarti lari dari dunia. Justru, dengan niat lurus, kerja keras demi keluarga, dedikasi pada profesi, atau bahkan membangun usaha, bisa menjadi ibadah. Yang keliru adalah ketika dunia menjadi ilah (tuhan) baru: ketika harta, tahta, dan pujian menggeser Allah dari pusat hati.
Mursyid dalam thoriqoh bukan sosok yang dipertuhankan, melainkan pembimbing yang menjaga murid agar tak tersesat dalam riak-riak syariat tanpa hakikat. Ia mengingatkan kita bahwa spiritualitas bukan pelarian, melainkan fondasi.
Kisah Kun mungkin adalah kisah kita semua. Di tengah tekanan hidup, kita sering lupa bahwa kebahagiaan sejati tak bisa dibeli dengan materi. Seperti kata Kyai Ali, “Kalau kau pegang kuat-kuat dunia, ia akan lari. Tapi kalau kau lepas demi Allah, dunia akan mengejarmu.”
Mungkin inilah saatnya kita bertanya: Sudahkah kompas hidup kita diarahkan ke akhirat? Atau justru terombang-ambing dalam ilusi dunia yang tak pernah cukup? Sebab, seperti yang Kun buktikan, ketika akhirat menjadi tujuan, dunia—dengan segala keberkahannya—akan menyusul dengan sendirinya.
----Masjid Kyai Ageng Moh Besari Tegalsari Ponorogo)
Posting Komentar untuk "Kyai Ali: Mburu Akhirat, Dunyane Katut; Mburu Dunya, Dunyane Durung Mesti Entuk, Apalagi Akherate"