Menerima dengan Ikhlas, Menolak dengan Bijak: Pelajaran Hidup dari Sebuah Pilihan Mbah Toyib dan Pak Yadi

Mbah Toyib dan Pak Yadi, saat Baiatan TQN-A di Masjid Cekok

Di tengah geliat modernisasi yang kerap mengukur kesuksesan dari materi dan pencapaian kasatmata, kisah Pak Yadi dari Ponorogo menyentuh relung terdalam makna keikhlasan. Pada tahun 2000-an, ia menghadapi dilema klasik: menerima tawaran dana untuk membangun masjid sebagai "base camp" kegiatan santri atau menolaknya demi menjaga kemurnian niat. Konflik ini bukan sekadar pergulatan pribadi, melainkan cerminan pergulatan manusia dalam menimbang antara keinginan duniawi dan kesadaran spiritual.

Sebagai seorang kakangan (kakak) yang ditugasi Kyai Imam Muhadi untuk membimbing anak-anak Ponorogo, Pak Yadi terbiasa hidup sederhana. Rumahnya yang berada di lingkungan padat tak memungkinkan dijadikan tempat pengajian rutin. 
Impiannya memiliki masjid permanen untuk kegiatan khususiyah, manaqiban, dan baiatan seolah terjawab ketika ada tawaran dana. 
Namun, di sinilah ujian bermula: menerima dana yang disebut sebagai "haknya" justru terasa seperti mengkomersialisasi pengabdian yang selama ini ia jalani dengan tulus. 

"Diambil salah, tidak diambil juga salah," gumamnya. Dilema ini menggetarkan nilai-nilai luhur Jawa: sepi ing pamrih (bebas pamrih) versus tut wuri handayani (mendorong dengan keteladanan).

Kegelisahan itu membawanya berziarah dari makam ke makam, mencari kejernihan hati. Jawaban belum ia dapatkan, antara diterima dan ditolak, tapi kalau ditolak bagaimana resikonya? Ini adalah berhubungan dengan pemberian dari salah satu orang sangat dihormatinya.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya ditimbali Mbah Toyib untuk menghadap karena beliau gerah. Saat itu, salah satu dari kami bertanya pada Mbah Toyib tentang amalan apa yang dapat membuat proses melahirkan menjadi lancar. Sebagai petugas kesehatan, dia bertanya karena ia tahu bahwa pasien-pasiennya sering sowan Mbah Toyib sebelum melahirkan.

Mbah Toyib langsung berbicara dengan nada tinggi, marah. "Cukup dengan mengucapkan 'Bismillahi', tidak perlu yang lain. Jika bayi lahir, itu adalah kehendak Allah, bukan karena usaha atau amalanmu yang membuatnya musrik," kata Mbah Toyib dengan keras. Lalu, Mbah Toyib terdiam dan menangis sesenggukan.

Perlahan-lahan, Mbah Toyib mulai bercerita tentang dua lelaki bersahabat yang sudah seperti kakak beradik. Mereka berguru pada guru yang sama, namun memiliki nasib yang berbeda. Salah satu dari mereka hanya memiliki kebiasaan nongkrong di rokokan sambil minum kopi dengan 2-3 orang temannya. Tidak ada kegiatan lain selain bekerja di ladang yang hasilnya tidak bisa diandalkan. Sehingga suatu hari istri protes dan mulai membanding-bandingkan dengan sahabat suaminya yang sukses pondoknya besar dan santrinya banyak.

Lalu disuruh istrinya bertanya  bagaimana sahabat seperguruannya bisa sesukses begitu.

Pergilah si istri pada sahabat suaminya yang sukses, dan menyampaikan apa yang menjadi tujuannya.

"Aku iri pada suamimu, mbakyu," kata sang kyai sukses ditirukan oleh Mbah Toyib sambil menangis sesenggukan. 

"Aku yang ini belum dikerjakan, sudah ada yang harus dikerjakan lagi. Belum lagi santri berkelahi, belum lagi mikir listrik, air, kebutuhan santri, belum lagi keluargaku sendiri, belum lagi para pejabat yang keluar masuk ke pondokku." Tiru Mbah Toyib, dengan sesenggukan, menirukan kata-kata kyai yang dianggap sukses tersebut.

"Salam buat suamimu mbakyu, aku iri ingin seperti suamimu yang lebih banyak waktu." kata sang kyai tatkala istri sahabatnya berpamitan.

Saya merasa bersalah karena telah membuat Mbah Toyib marah, bersedih, dan menangis. Sepulang dari Mbah Toyib, saya langsung sowan Pak Yadi dan menceritakan kronologi yang terjadi. Pak Yadi mendengar dengan seksama tanpa menjawab, tanpa menyalahkan saya, sesekali menghela nafas dan berkali-kali menyedot rokoknya dalam-dalam.

Seminggu kemudian kami ber-4 (almarhum Pak Yadi, almarhum pak Senen, almarhum pak Suryadi, dan saya yang menyetiri) pergi ke Pacitan.

"Peripun Pak Yadi?" Tanya si empu rumah 

"Matur sembah nuwun kawigatosanipun, sakmangke dalem dereng betah, lintu wekdal manawi sampun betah dalem sowan malih." Jawap Pak Yadi, sangat halus.

Si empu rumah tersenyum, dan sudah tahu maksud dan niat tulus Pak Yadi.

Dalam perjalanan pulang Pak Yadi bercerita,  memutuskan untuk tidak menerima dana yang ditawarkan untuk pembangunan masjid. Ia merasa bahwa menerima dana tersebut akan membuatnya kehilangan kesucian niatnya dalam menjalankan tugasnya sebagai santri. Pak Yadi lebih memilih untuk menjalankan kegiatannya dengan cara yang sederhana dan tidak mencari keuntungan pribadi.

Mbah Toyib dan Pak Yadi,setring tertawa lepas saat bersama

Sepuluh tahun-an kemudian pak Yadi bercerita, bahwa dulu yang melarang menerima dana untuk pembangunan masjid adalah Mbah Toyib. Cerita tentang sahabat karib tersebut sebenarnya pesan Mbah Toyib buat pak Yadi. Guru itu banyak caranya dalam menyampaikan sesuatu pada muridnya, cerita Pak Yadi.

Keputusan Pak Yadi ini mengajarkan kita tentang pentingnya memahami makna keikhlasan dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Terkadang, apa yang tampak sebagai kesempatan emas justru bisa menjadi beban yang mengganggu ketenangan hidup. Pak Yadi memilih untuk tetap setia pada prinsip hidupnya, meskipun itu berarti harus melewatkan kesempatan yang mungkin tidak akan datang dua kali.

Tidak semua yang tampak menggiurkan harus kita kejar, karena di balik itu mungkin tersimpan ujian yang berat. Keikhlasan dan kebijaksanaan adalah kunci untuk menemukan ketenangan dalam hidup.

Pak Yadi mungkin tidak pernah membangun masjid impiannya, tetapi ia telah membangun sesuatu yang lebih berharga: ketenangan jiwa dan keikhlasan hati yang menjadi teladan bagi anak-anak Ponorogo yang dibimbingnya.

----- Pacitan)


Posting Komentar untuk "Menerima dengan Ikhlas, Menolak dengan Bijak: Pelajaran Hidup dari Sebuah Pilihan Mbah Toyib dan Pak Yadi "