Bulan Ramadan tidak hanya menjadi momentum untuk memperbanyak ibadah ritual, tetapi juga waktu yang istimewa bagi para santri di Pondok Pesantren Manba'ul Adhim Bagbogo, Nganjuk, untuk mengkaji Kitab Ta’limul Muta’alim —karya klasik tentang etika menuntut ilmu—di bawah bimbingan Kyai Ali Barqul Abid. Di sini, para siswa MTs Ulumuddin, baik yang mukim (tinggal di asrama) maupun non-mukim, menjalani aktivitas pembelajaran yang padat, dari kajian kitab kuning hingga pengajian tematik. Namun, bagi santri yang memilih tetap mukim tanpa pulang saat libur kenaikan kelas, Ramadan menjadi ladang istimewa untuk meraih keberkahan ilmu dan pahala berlipat.
Kitab Ta’limul Muta’alim karya Syekh Az-Zarnuji menjadi rujukan utama dalam membentuk karakter santri. Kitab ini mengajarkan bahwa menuntut ilmu bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga proses penyucian jiwa. Kyai Ali Barqul Abid, pengasuh pesantren, menekankan bahwa Ramadan adalah waktu terbaik untuk menghidupkan dua dimensi ini: keilmuan dan spiritualitas. “Ilmu tanpa adab bagai api tanpa kayu bakar; ia akan padam sebelum memberi manfaat,” ujarnya.
Sepuluh Keutamaan Menuntut Ilmu di Bulan Ramadan
Kyai Ali menjelaskan, setidaknya ada sepuluh keutamaan menuntut ilmu selama Ramadan yang menjadi motivasi santri mukim:
- Pahala seperti setahun : Aktivitas belajar di bulan suci dinilai setara dengan ibadah satu tahun, merujuk hadis bahwa amal baik di Ramadan dilipatgandakan.
- Pahala berlipat : Setiap huruf yang dipelajari menjadi cahaya di akhirat.
- Derajat diangkat : Ilmu mengangkat martabat manusia, baik di dunia maupun di sisi Allah.
- Takwa : Proses belajar mengasah kepekaan terhadap nilai-nilai ilahi.
- Jalan ke surga : Hadis menyebut, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah mudahkan jalannya ke surga.”
- Mengumpulkan kebaikan : Ilmu adalah modal untuk beramal saleh.
- Kemuliaan dunia-akhirat : Santri yang tekun belajar akan dihormati masyarakat dan mendapat tempat mulia di akhirat.
- Amal jariyah : Ilmu yang diajarkan kepada orang lain menjadi pahala yang mengalir terus.
- Menghidupkan hati : Kajian ilmu mencegah hati dari kekosongan dan kemalasan.
- Kebahagiaan sejati : Kedamaian hati hanya datang dari kedekatan dengan Allah melalui ilmu.
Bagi santri mukim, Ramadan di pesantren adalah kesempatan emas. Di tengah godaan untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga, mereka memilih tetap tinggal untuk menjaga konsistensi ibadah dan belajar. Menurut salah satu santriwati, “Kalau pulang, waktu banyak terbuang untuk hal-hal tidak produktif. Di sini, kami bisa khatam kitab, hafalan lancar, dan merasakan kebersamaan dengan teman-teman.”
Pilihan ini juga mencerminkan filosofi pendidikan pesantren: ilmu harus diraih dengan pengorbanan. Kyai Ali menegaskan, “Ilmu itu bukan warisan, tapi hasil perjuangan. Santri yang bertahan di pesantren saat Ramadan sedang berjuang melawan kemalasan dan rindu keluarga. Itu ujian untuk menggapai derajat ulul albab (orang yang berpikir).”
Dalam dunia yang semakin individualis, tradisi pesantren seperti di Manba'ul Adhim menawarkan teladan tentang pentingnya komitmen pada ilmu dan kebersamaan. Ramadan tidak hanya diisi dengan tarawih dan tadarus, tetapi juga penguatan intelektual melalui kajian kitab kuning. Nilai-nilai kesabaran, disiplin, dan keikhlasan yang ditanamkan di pesantren menjadi bekal santri menghadapi tantangan zaman.
Sebagaimana pesan Kyai Ali, “Ilmu adalah cahaya. Di bulan Ramadan, cahaya itu bersinar lebih terang, karena Allah membuka pintu langit untuk hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.” Di tengah hiruk-pikuk dunia, pesantren tetap menjadi oase yang menyejukkan, mengingatkan kita bahwa Ramadan bukan sekadar ritual, tetapi juga transformasi diri melalui ilmu.
----Manba'ul Adhim Bagbogo
Posting Komentar untuk "Ramadan di Pesantren: Menimba Ilmu dan Keberkahan di Manba'ul Adhim"