Dalam kehidupan beragama, ada sebuah fenomena yang sering luput dari perhatian: titik jenuh. Bukan jenuh karena malas, melainkan kelelahan spiritual akibat ibadah yang berubah menjadi rutinitas kering, disertai harapan-harapan duniawi yang tak kunjung terpenuhi. Kisah yang diungkapkan oleh Pak Yadi, wakilnya Kyai Imam Muhadi untuk anak-anak Ponorogo tentang teman kami (senior ) yang semula rajin beribadah lalu “kendor” dan hilang dari komunitas, menjadi cermin bagi banyak orang yang terjebak dalam ritual tanpa esensi.
Pak Yadi bercerita tentang seorang teman yang dahulu begitu semangat beribadah, bahkan hingga 2-3 kali sehari melakukan kegiatan rutinan. Ia diijazahi oleh Kyai Imam Muhadi untuk mengimami kegiatan rutinan. Namun, setelah 2-3 tahun, semangatnya redup. Ia mulai absen, lalu menghilang. Apa penyebabnya? Menurut Pak Yadi, titik jenuh itu muncul karena ibadahnya dilakukan secara berlebihan dengan niat yang keliru: ia berharap imbalan duniawi. Ketika harapannya tak terwujud, yang tersisa hanyalah kekecewaan, ibadah yang menjadi kebiasaan akhirnya dianggapnya beban, bahkan sampai menyalahkan guru dan Tuhan..
Ini bukan sekadar persoalan kelelahan fisik, melainkan krisis makna. Ibadah yang seharusnya menjadi jalan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, berubah menjadi transaksi: “Aku sudah shalat, puasa, ngaji dan sedekah, mengapa masih gini- gini saja?” Ketika “kontrak” ini gagal, manusia merasa dikhianati. Padahal, seperti diingatkan Pak Yadi, ibadah bukanlah alat tukar, melainkan sarana untuk mencapai sakinah—ketenangan hati karena merasa dekat dengan Tuhan.
Persoalan mendasar dari kasus ini terletak pada niat. Pak Yadi menegaskan bahwa orang seperti teman kami itu “salah niat dan salah berharap, bahkan berubah niat”. Ibadah yang dilakukan dengan pamrih duniawi hanya akan melahirkan kehampaan. Sebaliknya, ketika ibadah dilandasi rasa syukur dan kerinduan untuk menyatu dengan kehendak Ilahi, hati akan tetap ayem, meski harapan duniawi tak terpenuhi.
Fenomena ini mengingatkan pada konsep "riyā’" dalam Islam—beramal agar dipuji manusia, bukan untuk Tuhan. Atau dalam tradisi Jawa, “nembe katon” (hanya ingin terlihat). Ini adalah penyakit spiritual yang halus namun berbahaya. Pak Yadi mengajarkan: “Jangan minta upah di dunia. Anggap kesuksesan sebagai bonus, bukan tujuan.” Dengan kata lain, ibadah harus menjadi ekspresi ketulusan, bukan investasi seperti yang diajarkan Kyai Imam Muhadi guru kami
Solusi yang ditawarkan Pak Yadi menarik: serahkan segala ikhtiar spiritual pada guru. “Ikuti perintah guru, niatnya diperintah guru, nikmati ibadah, dan biarkan guru yang bertanggung jawab.”
Ini bukanlah sikap pasif, melainkan bentuk kepasrahan bahwa guru—sebagai pembimbing—telah mengarahkan murid pada jalan yang benar. Kepercayaan ini melindungi murid dari ambisi pribadi yang bisa menyesatkan.
Buatlah ibadahmu bervariasi, tidak monoton, agar tidak membosankan.
Namun, di era ini banyak orang mencari “jalan pintas” spiritual—misalnya, melalui ritual instan atau ijazah tanpa proses—ajaran Kyai Imam Muhadi ini justru relevan. Ia mengajarkan kesabaran, komitmen, dan keikhlasan. Bagi Pak Yadi, guru bukanlah perantara yang menjamin terkabulnya hajat, melainkan pemandu agar murid tidak tersesat dalam ego dan harapan semu.
Kisah ini bukan hanya persoalan personal, tetapi juga kritik terhadap budaya instan dalam beragama. Di tengah masyarakat yang kerap mengukur kesalehan dari kuantitas ritual, Pak Yadi mengingatkan bahwa kualitas niatlah yang menentukan. Titik jenuh adalah alarm: saat ibadah tak lagi memberi kedamaian, mungkin kita telah menjadikannya alat, bukan penghambaan.
Pada akhirnya, ibadah sejati adalah upaya meruntuhkan ego, bukan memperkuatnya. Seperti pesan Pak Yadi, “Bukan Tuhan yang harus menuruti kita, tapi kitalah yang harus pasrah pada-Nya.” Di situlah letak kedamaian: ketika manusia berhenti mengatur Tuhan, dan mulai belajar menerima kehendak-Nya sebagai jawaban terbaik.
Esai ini mengajak kita berefleksi: Sudahkah ibadah kita lahir dari kerinduan akan Sang Pencipta, atau sekadar tuntutan ambisi dan ketakutan? Titik jenuh mengingatkan kita untuk kembali ke hakikat: ibadah adalah pulang ke rumah Tuhan, bukan transaksi untuk memenuhi keinginan dunia.
----Setono Gedong)
Posting Komentar untuk "Titik Jenuh dalam Ibadah: Ketika Ritual Mengaburkan Makna"